RICH: Menyadari Kekayaan Nusantara
Oleh: Akhmad Fikri AF.[1]
Dalam satu sesi wawancara pertama setelah dipastikan menjadi Menteri Kebudayaan, Fadli Zon mengemukakan gagasan tentang “Reinventing Indonesian Cultures and Heritages” atau saya istilahkan denga singkat: RICH. Secara sederhana saya ingin memaknainya sebagai upaya merekonstruksi kembali budaya dan warisan Indonesia. Sebuah gagasan besar dan berkelas. Ini menyangkut soal visi seorang Menteri dengan ruang lingkup cakupan pekerjaannya yang begitu luas.
Ada lebih dari 700an Bahasa di nusantara. Lebih dari 30an aksara-aksara local yang berkembang di nusantara sepanjang sejarahnya dan untuk Sebagian diantaranya masih dipelajari dan dilestarikan. Ada 1300an suku bangsa di nusantara. Sudah barang tentu, kementerian Kebudayaan harus melihat itu semua sebagai cakupan tanggung jawab kementerian serta bagaimana melihat kesemuanya dalam konteks RICH.
Terlebih di tengah gempuran teknologi digital hari ini. Perjumpaan budaya berlangsung intens tanpa batas. Pastinya keterpengaruhan dan saling mempengaruhi antar budaya, Bahasa dan aksara berlangsung massif dan visual. Oleh karenanya ada begitu banyak tantangan dalam upaya RICH. Salah satu diantara tantangannya yakni; bagaimana mengatasi sikap mental kita yang belum berubah. Perasaan sebagai bangsa rendahan masih begitu dominan dan terjaga.
Bagaimanapun gagasan tentang RICH atau “Merekonstruksi Kembali Budaya dan Warisan Indonesia” adalah upaya untuk mengembangkan kembali kekayaan budaya Indonesia yang ada dengan cara-cara yang relevan di era modern. Gagasan ini berfokus pada adaptasi, pelestarian, dan inovasi yang menjembatani antara warisan tradisional dan kebutuhan masyarakat masa kini.
PENTINGNYA AMANDEMEN
PASAL 36 UUD 1945
Oleh : Akhmad Fikri AF.
Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan salah satu langkah strategis dalam rangka mengakomodasi perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia, terutama dalam hal kebudayaan. Dalam konteks ini, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah pengakuan dan perlindungan terhadap aksara-aksara Nusantara, yang selama ini belum mendapatkan posisi hukum yang jelas dalam konstitusi Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk mengamandemen Pasal 36 UUD 1945 agar pengakuan konstitusional atas aksara-aksara Nusantara dapat diwujudkan.
Mengapa pengakuan konstitusional ini menjadi penting? Setidaknya ada empat argument yang bisa saya kemukakan terkait hal ini. Pertama, terkait dengan kebudayaan dan identitas nasional. Kedua, terkait dengan identitas kebangsaan di ranah internasional. Ketiga, pengakuan hukum dalam kerangkan perlindungan atas eksistensi aksara-aksara di nusantara. Keempat, reinventing bhineka tunggal ika.
Tulisan ini akan menjelaskan pentingnya keempat argument tersebut dengan harapan pihak-pihak pemangku kepentingan nasional dapat tergugah. Tentu saja, keberadaan partai-partai politik, anggota legislatif dan Presiden RI dapat melihat ini sebagai salah satu aspek penting dalam merumuskan kembali identitas nasional kita di era digital.
Tentang Turats: Sentrisme Versus Lokalitas
(Sebuah Catatan Sederhana)
====================================================== Akhmad Fikri AF.[1]
Turats secara harfiah berarti "warisan" atau "tradisi" dalam bahasa Arab, dan dalam konteks Islam, istilah ini merujuk pada warisan intelektual dan kultural umat Islam yang meliputi karya-karya ilmiah, hukum, teologi, filsafat, dan seni yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Secara historis, turats sering dikaitkan dengan masa "keemasan" peradaban Islam, yaitu ketika para ulama dan cendekiawan Muslim menulis karya-karya monumental yang membentuk landasan keilmuan Islam. Karya-karya seperti Ihya' Ulum al-Din karya Imam Al-Ghazali, Tafsir al-Tabari karya Imam al-Tabari, dan kitab-kitab fiqh dari mazhab-mazhab seperti Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hanbali menjadi representasi utama dari turats yang diakui secara luas di dunia Islam.
EKSISTENSI AKSARA-AKSARA DI NUSANTARA {Kepastian Hukum dalam Kerja-kerja Kebudayaan}
================================= Akhmad Fikri AF.1
Sejak tahun 2014, saya terlibat dalam gerakan pelestarian dan pengembangan aksara Carakan Jawa. Apa yang awalnya dimulai sebagai upaya untuk menjaga kekayaan budaya ini segera berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks dan mendalam. Pengalaman selama hampir satu dekade ini mengajarkan saya bahwa perjuangan untuk menjaga eksistensi aksara Carakan Jawa, dan aksara-aksara Nusantara lainnya, bukanlah semata-mata soal kebudayaan. Ini adalah perjuangan hukum dan pengakuan oleh negara.
Gerakan ini sering kali disalahpahami sebagai usaha konservatif yang hanya berfokus pada aspek kebudayaan.2 Memang, menjaga aksara kuno seperti Carakan Jawa adalah bagian penting dari melestarikan identitas budaya lokal. Namun, kita tidak bisa berhenti di situ. Ada dimensi lain yang lebih luas, yakni pengakuan dan perlindungan hukum yang harus diperjuangkan. Aksara-aksara tradisional Nusantara bukan hanya warisan kebudayaan, tetapi juga bagian dari hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas bahasa dan ekspresi budaya.
Tak sampai satu dasawarsa sejak UU Keistimewaan Jogjakarta disahkan, kita dikejutkan oleh ramainya tagline di linimasa: #JOGJAkartaKotaHanacaraka. Di minggu-minggu terakhir menjelang selebrasi Hari Aksara Internasional (HAI), tagline #JOGJAkartaKotaHanacaraka semakin ramai dibicarakan. Ada apa dengan tagline ini? Dalam rangka peringatan HAI, 8 September 2021 yang segera kita selebrasikan, tulisan ini mencoba melihat pesan apa yang hendak disampaikan dari tagline tersebut.
Tagline #JOGJAkartaKotaHanacaraka yang saat ini mengemuka ramai di linimasa memberi pesan sarat makna. Di tengah serbuan budaya pop di dunia digital hari ini, tagline ini menyeruak dan begitu gencar dikampanyekan. Saya melihat ada sesuatu yang tengah berubah. Pelan tapi pasti perubahan itu akan semakin terlihat. Jogjakarta ingin berbenah. Menggali sesuatu yang lama tak terpikirkan. Yakni; sebuah ruh (spirit) yang mampu menghadirkan kebanggaan dan semakin bermaknanya keistimewaan itu.
꧋ꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀ꦱꦶꦁꦒꦃꦣꦶꦮꦫꦸꦁꦏꦺꦴꦥꦶꦱꦼꦧꦸꦮꦃꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦗ꦳ꦶꦪꦫꦃꦱꦪꦱꦼꦭꦭꦸꦧꦼꦂꦠꦚ;ꦧꦒꦻꦩꦤꦩꦼꦫꦺꦏ–ꦥꦫꦄꦃꦭꦶꦏꦸꦧꦸꦂꦆꦠꦸ—ꦲꦶꦣꦸꦥ꧀?ꦧꦸꦏꦤ꧀ꦏꦃꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀ꦏꦼꦩꦠꦶꦪꦤ꧀ꦆꦠꦸꦲꦏꦶꦏꦠ꧀ꦚꦱꦩ?꧈ꦎꦫꦁꦎꦫꦁꦱ꦳ꦭꦺꦃ꧉ꦥꦫꦧꦼꦒꦗꦸꦭ꧀ꦗꦭꦤꦤ꧀꧈ꦩꦼꦫꦺꦏꦪꦁꦲꦶꦣꦸꦥ꧀ꦚꦈꦒꦭ꧀ꦈꦒꦭꦤ꧀꧈ꦄꦠꦻꦴꦥꦫꦱꦭꦶꦏ꧀꧌ꦥꦼꦚ꧀ꦕꦫꦶꦏꦼꦧꦼꦤꦫꦤ꧀꧍?ꦏꦼꦩꦠꦶꦪꦤ꧀ꦄꦣꦭꦃꦧꦼꦂꦥꦶꦤ꧀ꦝꦃꦚꦫꦸꦃ꧌ꦗꦶꦮ꧍ꦏꦶꦠꦏꦼꦱꦼꦧꦸꦮꦃꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦄꦼꦤ꧀ꦠꦃꦧꦼꦂꦤꦩꦄꦥ꧉ꦲꦩ꧀ꦥꦶꦂꦱꦼꦩꦸꦮꦏꦼꦪꦏꦶꦤꦤ꧀ꦩꦼꦭꦶꦲꦠ꧀ꦚꦱꦼꦧꦒꦻꦥꦼꦂꦥꦶꦤ꧀ꦝꦲꦤ꧀꧈ꦠꦸꦧꦸꦃꦠꦏ꧀ꦧꦼꦂꦒꦼꦫꦏ꧀ꦆꦠꦸꦲꦚꦭꦃꦧꦸꦁꦏꦸꦱ꧀ꦝꦫꦶꦗꦶꦮꦗꦶꦮꦏꦶꦠꦪꦁꦠꦏ꧀ꦥꦼꦂꦤꦃꦩꦠꦶ꧉ꦲꦏꦶꦏꦠ꧀ꦚꦩꦼꦫꦺꦏꦲꦶꦣꦸꦥ꧀꧈ꦲꦚꦏꦼꦲꦶꦣꦸꦥꦤ꧀ꦩꦼꦫꦺꦏꦆꦠꦸꦧꦸꦏꦤ꧀ꦝꦶꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦪꦁꦣꦶꦱꦼꦧꦸꦠ꧀ꦥ꦳ꦤꦭꦒꦶ꧉
꧋ꦏꦶꦠꦱꦼꦫꦶꦁꦩꦼꦚꦼꦧꦸꦠ꧀ꦚꦱꦼꦧꦒꦻ“ꦥꦸꦭꦁ”꧈ꦩꦏꦣꦶꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀ꦥꦼꦫꦶꦱ꧀ꦠꦶꦮꦏꦼꦩꦠꦶꦪꦤ꧀ꦏꦶꦠꦱꦼꦭꦭꦸꦩꦼꦤ꧀ꦝꦼꦔꦂꦧꦼꦫꦶꦠꦠꦼꦤ꧀ꦠꦁꦥꦸꦭꦁꦚꦱꦶꦄꦤꦸꦄꦠꦻꦴꦏꦼꦩ꧀ꦧꦭꦶꦚꦱꦶꦥ꦳ꦸꦭꦤ꧀꧈ꦩꦼꦚꦼꦧꦸꦠ꧀ꦏꦼꦩꦠꦶꦪꦤ꧀ꦱꦼꦧꦒꦻꦥꦼꦫꦶꦱ꧀ꦠꦶꦮꦥꦸꦭꦁꦚꦱꦼꦱꦼꦎꦫꦁꦩꦼꦔꦤ꧀ꦝꦸꦁꦩꦏ꧀ꦤꦏꦼꦱꦼꦩꦼꦤ꧀ꦠꦫꦄꦤ꧀꧈ꦧꦼꦂꦥꦸꦭꦁꦚꦱꦼꦱꦼꦎꦫꦁꦄꦂꦠꦶꦚꦏꦼꦩ꧀ꦧꦭꦶꦚꦣꦶꦫꦶꦚꦏꦼꦱꦼꦧꦸꦮꦃꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦪꦁꦣꦶꦥꦲꦩꦶꦱꦼꦧꦒꦻꦱꦸꦩ꧀ꦧꦼꦂꦣꦫꦶꦱꦼꦒꦭꦄꦱꦭ꧀ꦩꦸꦮꦱꦭ꧀꧈ꦣꦸꦤꦶꦪꦱꦼꦧꦒꦻꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦱꦼꦩꦼꦤ꧀ꦠꦫꦆꦧꦫꦠ꧀ꦫꦸꦮꦁꦄꦠꦻꦴꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦏꦶꦠꦩꦩ꧀ꦥꦶꦂꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦧꦼꦫꦶꦏꦸꦠ꧀ꦚꦩꦼꦭꦚ꧀ꦗꦸꦠ꧀ꦏꦤ꧀ꦥꦼꦂꦗꦭꦤꦤ꧀ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦭꦶ꧈ꦏꦉꦤꦱꦶꦥ꦳ꦠ꧀ꦏꦼꦱꦼꦩꦼꦤ꧀ꦠꦫꦄꦤ꧀ꦆꦠꦸꦠꦶꦣꦏ꧀ꦭꦃꦭꦩ꧉ꦎꦫꦁꦗꦮꦩꦼꦚꦼꦧꦸꦠ꧀ꦚꦣꦼꦔꦤ꧀“ꦲꦸꦫꦶꦥ꧀ꦩꦸꦁꦩꦩ꧀ꦥꦶꦂꦔꦺꦴꦩ꧀ꦧꦺ”꧉ꦲꦶꦣꦸꦥ꧀ꦲꦚꦱꦼꦏꦣꦂꦩꦩ꧀ꦥꦶꦂꦩꦶꦤꦸꦩ꧀꧈
꧋ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦭꦃꦭꦩꦧꦒꦶꦱꦼꦱꦼꦎꦫꦁꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦶꦤꦸꦩ꧀꧈ꦏꦶꦠꦧꦶꦱꦩꦼꦔꦸꦏꦸꦂꦱꦼꦧꦼꦫꦥꦭꦩꦱꦼꦱꦼꦎꦫꦁꦩꦶꦤꦸꦩ꧀꧈ꦠꦼꦠꦥꦶꦗꦼꦗꦏ꧀ꦱꦼꦎꦫꦁꦪꦁꦩꦶꦤꦸꦩ꧀ꦆꦠꦸꦠꦼꦂꦕꦠꦠ꧀ꦝꦶꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀ꦥꦼꦂꦱꦶꦁꦒꦲꦤ꧀ꦪꦁꦣꦶꦪꦩ꧀ꦥꦶꦫꦶꦚ꧉ꦱꦼꦭꦭꦸꦄꦣꦆꦔꦠꦤ꧀ꦄꦠꦱ꧀ꦝꦶꦫꦶꦱꦼꦱꦼꦎꦫꦁ꧈ꦆꦔꦠꦤ꧀ꦆꦠꦸꦧꦼꦂꦒꦤ꧀ꦠꦸꦁꦣꦫꦶꦱꦼꦧꦼꦫꦥꦏꦶꦠꦩꦼꦤꦶꦁꦒꦭ꧀ꦏꦤ꧀ꦏꦼꦱꦤ꧀ꦥꦺꦴꦱꦶꦠꦶꦥ꦳꧀ꦤꦺꦒꦠꦶꦥ꦳꧀ꦝꦶꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦥꦼꦂꦱꦶꦁꦒꦲꦤ꧀ꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦩꦩ꧀ꦥꦶꦂꦆꦠꦸ꧈ꦱꦼꦧꦧ꧀ꦄꦣꦱꦗꦩꦼꦫꦺꦏꦪꦁꦩꦩ꧀ꦥꦶꦂꦩꦶꦤꦸꦩ꧀ꦭꦭꦸꦭꦸꦥꦥꦣꦏꦼꦮꦗꦶꦧꦤ꧀ꦚ꧈ꦱꦼꦩꦸꦮꦏꦼꦱꦤ꧀ꦆꦠꦸꦧꦼꦂꦒꦤ꧀ꦠꦸꦁꦣꦫꦶꦄꦥꦪꦁꦣꦶꦭꦏꦸꦏꦤ꧀ꦏꦶꦠꦣꦶꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦱꦶꦁꦒꦃꦱꦼꦩꦼꦤ꧀ꦠꦫꦆꦠꦸ꧉
꧋ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦭꦶꦥꦣꦥꦼꦂꦠꦚꦄꦤ꧀ꦱꦪꦣꦶꦄꦮꦭ꧀ꦧꦒꦻꦩꦤꦩꦼꦫꦺꦏꦲꦶꦣꦸꦥ꧀?ꦗꦶꦏꦱꦩ꧀ꦥꦻꦲꦫꦶꦆꦤꦶꦧꦃꦏꦤ꧀ꦱꦼꦗꦏ꧀ꦫꦠꦸꦱꦤ꧀ꦠꦲꦸꦤ꧀ꦱꦼꦏꦶꦪꦤ꧀ꦄꦧꦣ꧀ꦝꦫꦶꦏꦼꦩꦠꦶꦪꦤ꧀ꦚ꧈ꦱꦼꦱꦼꦎꦫꦁꦩꦱꦶꦃꦩꦼꦩ꧀ꦧꦼꦫꦶꦏꦼꦲꦶꦣꦸꦥꦤ꧀ꦧꦒꦶꦎꦫꦁꦭꦻꦤ꧀꧈ꦭꦶꦲꦠ꧀ꦭꦃꦧꦼꦠꦥꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦗ꦳ꦶꦪꦫꦃꦆꦠꦸꦠꦏ꧀ꦥꦼꦂꦤꦃꦱꦼꦥꦶꦥꦼꦔꦸꦚ꧀ꦗꦸꦁ꧈ꦩꦼꦫꦺꦏꦣꦠꦁꦱꦶꦭꦶꦃꦧꦼꦂꦒꦤ꧀ꦠꦶ꧉ꦣꦫꦶꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦪꦁꦗꦻꦴꦃ꧈ꦧꦸꦠꦸꦃꦥꦼꦔꦺꦴꦂꦧꦤꦤ꧀ꦮꦏ꧀ꦠꦸ꧈ꦠꦼꦤꦒꦣꦤ꧀ꦝꦤ꧈ ꦏꦼꦒꦻꦫꦲꦤ꧀ꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦗ꦳ꦶꦪꦫꦃꦠꦏ꧀ꦥꦼꦂꦤꦃꦱꦸꦫꦸꦠ꧀꧉
꧋ꦩꦺꦴꦧꦶꦭꦶꦠꦱ꧀ꦝꦠꦁꦣꦤ꧀ꦥꦼꦂꦒꦶꦚꦥꦫꦥꦼꦗ꦳ꦶꦪꦫꦃꦆꦠꦸꦧꦼꦂꦣꦩ꧀ꦥꦏ꧀ꦭꦁꦱꦸꦁꦣꦶꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦥꦼꦗ꦳ꦶꦪꦫꦲꦤ꧀꧈ꦩꦼꦭꦲꦶꦂꦏꦤ꧀ꦏꦼꦧꦸꦠꦸꦲꦤ꧀;ꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦆꦱ꧀ꦠꦶꦫꦲꦠ꧀ꦮꦫꦸꦁꦏꦺꦴꦥꦶ꧈ꦥꦼꦚ꧀ꦗꦸꦮꦭ꧀ꦩꦏꦤꦤ꧀ꦝꦤ꧀ꦩꦶꦤꦸꦩꦤ꧀ꦄꦤꦺꦏꦧꦫꦁꦏꦼꦫꦗꦶꦤꦤ꧀ꦝꦤ꧀ꦠꦤ꧀ꦝꦩꦠ꧈ꦥꦼꦫꦭꦠꦤ꧀ꦆꦧꦣꦃ꧈ꦧꦃꦏꦤ꧀ꦱꦼꦏꦸꦩ꧀ꦥꦸꦭꦤ꧀ꦥꦫꦥꦼꦔꦼꦩꦶꦱ꧀ꦱꦼꦠꦶꦪꦩꦼꦤꦸꦁꦒꦸꦭꦺꦩ꧀ꦥꦫꦤ꧀ꦏꦺꦴꦆꦤ꧀ꦝꦼꦩꦶꦏꦺꦴꦆꦤ꧀ꦝꦫꦶꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀ꦥꦼꦗ꦳ꦶꦪꦫꦃꦪꦁꦱꦶꦁꦒꦃ꧈ꦫꦶꦧꦸꦮꦤ꧀ꦧꦃꦏꦤ꧀ꦥꦸꦭꦸꦲꦤ꧀ꦫꦶꦧꦸꦎꦫꦁꦣꦠꦁꦣꦤ꧀ꦥꦼꦂꦒꦶꦩꦼꦩ꧀ꦧꦼꦫꦶꦩꦤ꧀ꦥ꦳ꦄꦠ꧀ꦌꦏꦺꦴꦤꦺꦴꦩꦶꦏꦼꦥꦣꦥꦫꦥꦼꦣꦒꦁ꧈ꦫꦸꦩꦃꦫꦸꦩꦃꦱꦼꦏꦶꦠꦂꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦥꦼꦗ꦳ꦶꦪꦫꦲꦤ꧀꧉
꧋ꦫꦱꦚꦱꦸꦭꦶꦠ꧀ꦧꦒꦶꦱꦪꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦼꦔꦠꦏꦤ꧀ꦲꦶꦫꦸꦏ꧀ꦥꦶꦏꦸꦏ꧀ꦥꦫꦥꦼꦗ꦳ꦶꦪꦫꦃꦆꦠꦸꦱꦼꦧꦒꦻꦥ꦳ꦺꦱ꧀ꦠꦶꦮ꦳ꦭ꧀ꦧꦶꦢ꧀ꦔ꦳ꦃ꧈ꦄꦥꦭꦒꦶꦱꦩ꧀ꦥꦻꦩꦼꦚꦼꦧꦸꦠ꧀ꦚꦱꦼꦧꦒꦻꦫꦶꦠꦸꦮꦭ꧀ꦯꦶꦫꦶꦏ꧀ꦪꦁꦗꦻꦴꦃꦣꦫꦶꦄꦗꦫꦤ꧀ꦄꦒꦩ꧈ꦱꦪꦠꦏ꧀ꦧꦶꦱꦣꦤ꧀ꦠꦏ꧀ꦏꦤ꧀ꦥꦼꦂꦤꦃꦱꦩ꧀ꦥꦻꦏꦼꦩꦩ꧀ꦥꦸꦮꦤ꧀ꦩꦼꦩ꧀ꦧꦕꦆꦱꦶꦲꦠꦶꦱꦼꦠꦶꦪꦥ꧀ꦎꦫꦁ꧉ꦧꦃꦮꦩꦼꦫꦺꦏꦣꦠꦁꦏꦼꦱꦼꦧꦸꦮꦃꦩꦏꦩ꧀ꦪꦁꦣꦶꦏꦼꦫꦩꦠ꧀ꦏꦤ꧀ꦝꦼꦔꦤ꧀ꦠꦸꦗꦸꦮꦤ꧀–ꦲꦚꦣꦶꦫꦶꦚꦣꦤ꧀ꦠꦸꦲꦤ꧀ꦪꦁꦠꦲꦸ—ꦧꦸꦏꦤ꧀ꦭꦃꦮꦶꦭꦪꦃꦱꦪꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦁꦲ꦳ꦏꦶꦩꦶꦚ꧈ꦠꦶꦣꦏ꧀ꦭꦃꦏꦶꦠꦗꦸꦒꦣꦥꦠ꧀ꦩꦼꦔꦼꦂꦠꦶꦤꦶꦪꦠ꧀ꦝꦤ꧀ꦲꦠꦶꦱꦼꦱꦼꦎꦫꦁ꧈ꦏꦥꦱꦶꦠꦱ꧀ꦏꦶꦠꦧꦫꦁꦏꦭꦶꦲꦚꦩꦩ꧀ꦥꦸꦩꦼꦩꦏ꧀ꦤꦻꦠꦶꦤ꧀ꦝꦏꦤ꧀ꦠꦶꦤ꧀ꦝꦏꦤ꧀ꦭꦲꦶꦫꦶꦪꦃꦱꦼꦱꦼꦎꦫꦁ꧈ꦤꦩꦸꦤ꧀ꦧꦸꦏꦤ꧀ꦧꦺꦂꦄꦂꦠꦶꦣꦼꦔꦤ꧀ꦏꦼꦩꦩ꧀ꦥꦸꦮꦤ꧀ꦆꦠꦸꦏꦶꦠꦣꦥꦠ꧀ꦩꦼꦚꦶꦩ꧀ꦥꦸꦭ꧀ꦏꦤ꧀ꦱꦼꦩꦸꦮꦆꦱꦶꦲꦠꦶꦩꦼꦫꦺꦏ꧈ꦥꦫꦥꦼꦗ꦳ꦶꦪꦫꦃꦆꦠꦸ꧉
꧋ꦗ꦳ꦶꦪꦫꦃꦱꦼꦧꦒꦻꦥꦼꦫꦶꦱ꧀ꦠꦶꦮꦱꦺꦴꦱꦶꦪꦭ꧀꧌ꦧꦸꦣꦪ꧍ꦣꦼꦔꦤ꧀ꦱꦼꦒꦭꦣꦩ꧀ꦥꦏ꧀ꦚꦧꦸꦮꦠ꧀ꦱꦪꦩꦼꦩ꧀ꦧꦼꦫꦶꦏꦤ꧀ꦱꦼꦧꦸꦮꦃꦒꦩ꧀ꦧꦫꦤ꧀ꦥꦺꦴꦱꦶꦠꦶꦥ꦳꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦠꦁꦱꦼꦱꦼꦎꦫꦁꦪꦁꦣꦶꦗ꦳ꦶꦪꦫꦲꦶ꧈ꦱꦪꦪꦏꦶꦤ꧀ꦩꦼꦫꦺꦏꦪꦁꦣꦶꦗ꦳ꦶꦪꦫꦲꦶꦆꦠꦸꦥꦱ꧀ꦠꦶꦭꦃꦎꦫꦁꦧꦻꦏ꧀ꦧꦻꦏ꧀ꦝꦶꦮꦏ꧀ꦠꦸꦲꦶꦣꦸꦥ꧀ꦚꦣꦸꦭꦸ꧈ꦏꦼꦪꦏꦶꦤꦤ꧀ꦱꦪꦠꦶꦣꦏ꧀ꦧꦼꦫꦸꦧꦃ꧉ꦩꦼꦫꦺꦏꦣꦶꦩꦱꦭꦭꦸꦥꦱ꧀ꦠꦶꦠꦼꦭꦃꦩꦼꦭꦏꦸꦏꦤ꧀ꦱꦼꦱꦸꦮꦠꦸꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦎꦫꦁꦧꦚꦏ꧀꧈ꦩꦼꦤ꧀ꦝꦺꦴꦄꦏꦤ꧀ꦚꦲꦏꦶꦏꦠ꧀ꦚꦄꦣꦭꦃꦩꦼꦤ꧀ꦝꦺꦴꦄꦏꦤ꧀ꦝꦶꦫꦶꦱꦼꦤ꧀ꦝꦶꦫꦶ꧉ꦩꦤ꧀ꦥ꦳ꦄꦠ꧀ꦆꦠꦸꦏꦶꦠꦫꦱꦏꦤ꧀ꦲꦶꦁꦒꦏꦶꦤꦶ꧉ꦩꦼꦔꦼꦠꦲꦸꦮꦶꦱꦼꦗꦫꦃꦧꦒꦻꦩꦤꦩꦼꦫꦺꦏꦲꦶꦣꦸꦥ꧀ꦄꦣꦭꦃꦕꦼꦂꦩꦶꦤ꧀꧈ꦆꦪꦩꦼꦩꦤ꧀ꦠꦸꦭ꧀ꦏꦤ꧀ꦗꦼꦗꦏ꧀ꦥꦼꦩ꧀ꦧꦼꦭꦗꦫꦤ꧀ꦥꦣꦏꦶꦠ꧉ꦩꦏꦩꦼꦤ꧀ꦝꦠꦔꦶꦚ꧌ꦩꦼꦤ꧀ꦗ꦳ꦶꦪꦫꦲꦶꦚ꧍ꦄꦣꦭꦃꦈꦁꦏꦥꦤ꧀ꦝꦫꦶꦫꦱꦱꦾꦸꦏꦸꦂꦏꦶꦠꦄꦠꦱ꧀ꦄꦥꦪꦁꦣꦶꦭꦏꦸꦏꦤ꧀ꦚꦣꦶꦩꦱꦭꦭꦸ꧉
꧋ꦫꦸꦥꦫꦸꦥꦚꦱꦼꦣꦶꦏꦶꦠ꧀ꦝꦫꦶꦏꦶꦠꦩꦻꦴꦧꦼꦭꦗꦂꦠꦼꦤ꧀ꦠꦁꦕꦫꦩꦼꦫꦺꦏꦲꦶꦣꦸꦥ꧀꧈ꦩꦼꦔꦁꦒꦥ꧀ꦚꦱꦼꦧꦒꦻꦩꦱꦭꦭꦸꦪꦁꦠꦏ꧀ꦥꦼꦂꦭꦸꦣꦶꦠꦺꦔꦺꦴꦏ꧀꧈ꦏꦶꦠꦄꦣꦭꦃꦒꦼꦤꦼꦫꦱꦶꦄꦭ꧀ꦥꦭꦸꦥ꧉ꦏꦶꦠꦠꦏ꧀ꦭꦲꦶꦂꦣꦫꦶꦫꦸꦮꦁꦲꦩ꧀ꦥ꧉ꦣꦤ꧀ꦧꦁꦱꦪꦁꦧꦼꦱꦂꦄꦣꦭꦃꦧꦁꦱꦪꦁꦩꦻꦴꦧꦼꦭꦗꦂꦣꦫꦶꦩꦱꦭꦭꦸꦚ꧉ꦮꦭ꧀ꦭꦲꦸꦔ꦳ꦭꦩ꧀꧉
ꦱꦼꦏꦽꦠꦫꦶꦪꦠ꧀ Sekretariat:
ꦏꦩ꧀ꦥꦸꦁꦄꦏ꧀ꦱꦫꦥꦕꦶꦧꦶꦠ
ꦧꦶꦤ꧀ꦠꦫꦤ꧀ꦮꦺꦠꦤ꧀ꦱꦿꦶꦩꦸꦭ꧀ꦚꦥꦶꦪꦸꦁ
ꦔꦤ꧀ꦧꦤ꧀ꦠꦸꦭ꧀ꦪꦺꦴꦒ꧀ꦚꦏꦂꦠ
Kampung Aksara Pacibita
Bintaran Wetan 06 Kalurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55792
ꦲꦫꦶꦆꦤꦶ Hari ini | 267 | |
ꦏꦼꦩꦫꦶꦤ꧀ Kemarin | 401 | |
ꦩꦶꦁꦒꦸꦆꦤꦶ Minggu ini | 182 | |
ꦧꦸꦭꦤ꧀ꦆꦤꦶ Bulan ini | 8974 | |
ꦏꦼꦱꦼꦭꦸꦫꦸꦲꦤ꧀ Keseluruhan | 309365 |