Melalui program restorasi sosial Gerbang Praja, Dinas Sosial DIJ meyakini, bahwa pelestarian budaya dimulai dari lembaga masyarakat terkecil, yakni keluarga. Yang sangat berperan di kemudian hari untuk pelestarian adalah ibu-ibu rumah tangga. “Yakni yang tergabung sebagai anggota PKK,” jelas Kepala Dinas Sosial DIJ Untung Sukaryadi dalam Sarasehan dan Pentas Seni Program Restorasi Sosial rangkaian Hari Kesatuan Gerak (HKG) PKK ke-47, Kamis (14/3).
Untung menjelaskan alasan mengapa pelestarian aksara Jawa menjadi bagian dari program Dinas Sosial, dengan merangkul PKK. Diyakininya, agar kebudayaan Jawa di Jogjakarta tidak hilang, maka perlu ada restorasi (pengembalian fungsi) sosial untuk masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang perlu ditekankan dalam restorasi tersebut. Yakni kemoto, kewoco, dan keroso.
Aspek kemoto misalnya, terus dilakukan oleh Dinas Sosial melalui program-program nyata kelembagaan. Lalu kemoco, yaitu upaya-upaya yang mampu dimaknai dan terbaca jelas oleh masyarakat. Serta, mampu diterapkan langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian aspek keroso, di mana masyarakat bisa merasakan dampak dari restorasi sosial tersebut. Khususnya dalam hal revolusi mental.
Revolusi mental itu tak hanya berupa perilaku masyarakat, terutama generasi muda, yang diyakini Untuk mulai hilang ‘Jawanya’. Menurut Untung, generasi muda sekarang harus digugah rasane atau sithik eding. Sithik eding (kesediaan berbagi rasa dan ruang), diyakininya mampu menciptakan harmonisasi yang bermula lewat sikap toleransi.”Sehingga, generasi muda kelak diharapkan memiliki greget untuk bersama membangun Jogjakarta,’’ jelasnya.
Wakil Ketua Tim Penggerak PKK DIJ Kanjeng Gusti Bendoro Raden Ayu Adipati (KGRBRAyA) Paku Alam berpendapat, masyarakat Jogjakarta bisa menengok bagaimana Jepang bisa mempertahankan kebudayaannya meski era digital dan globalisasi ada. Terkait aksara Jawa misalnya, pihak Pakualaman pun telah lama berupaya melestarikannya. Mulai dari mengadakan lomba tulis aksara Jawa setiap tahun. Hingga memasang aksara Jawa di tiap-tiap papan Puro Pakualaman. “Harus berani mencoba dan belajar sedikit demi sedikit. Tidak apa-apa walaupun terlambat,” pesannya. Hal sederhana itu pun diharapkannya bisa dibiasakan oleh masing-masing keluarga kepada anak-anak.
Pengamat aksara Jawa sekaligus abdi dalem Carik Pakualaman Mas Riya Bimo Guritno mengatakan, orangtua harus memulai mengajarkan aksara Jawa dengan cara menyenangkan. “Upaya-upaya menyenangkan itu pasti membuat anak mau mempelajari aksara Jawa,” katanya. Dia juga menyarankan para ibu untuk lebih meningkatkan rasa peduli dan perhatian kepada anak-anaknya agar aksara Jawa bisa diajarkan dengan kasih sayang. Bukan paksaan. (cr9/din/mg4)