Di tengah globalisasi dan arus modernisasi yang semakin kuat, aksara-aksara ini sering terpinggirkan, baik dalam pendidikan formal maupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendorong negara agar mengakui secara resmi keberadaan aksara-aksara Nusantara, termasuk Carakan Jawa, di dalam kerangka hukum dan kebijakan nasional. Ini termasuk pengakuan dalam undang-undang, kurikulum pendidikan, hingga ruang publik yang lebih luas, seperti dokumen resmi dan layanan pemerintah.
Sampai hari ini saya masih merancang dan menjalankan beberapa kegiatan, dari mengajarkan aksara Carakan kepada generasi muda, pelatihan-pelatihan aksara carakan, kajian serat, digitalisasi manuskrip,3 hingga memperjuangkan agar aksara ini diakui dalam ranah digital dan teknologi. Tantangan yang dihadapi tidaklah ringan, mulai dari kurangnya pemahaman hingga minimnya perhatian dari pemerintah. Namun, langkah-langkah kecil yang diambil telah membuka jalan bagi perubahan yang lebih besar.
Menyadari bahwa pelestarian aksara tradisional membutuhkan dukungan yang lebih kuat dari negara, saya rasa gerakan ini tidak berhenti hanya berfokus pada aspek kultural. Diperlukan adanya dorongan ke arah advokasi di ranah kebijakan publik, berupaya agar aksara Carakan Jawa dan aksara-aksara lainnya di Nusantara memiliki status yang diakui secara resmi. Oleh karena itu menjadi penting memperjuangkannya, agar aksara-aksara ini diintegrasikan dalam sistem hukum negara, sehingga keberadaannya dapat dilindungi dan diwariskan kepada generasi mendatang dengan lebih terjamin.
Gerakan ini adalah upaya untuk mengangkat identitas bangsa dalam wujud yang lebih nyata dan berkelanjutan. Pelestarian aksara Carakan Jawa, misalnya, tidak hanya soal mempertahankan warisan leluhur, tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial, hak-hak adat dan kebudayaan yang lebih luas. Ini adalah langkah penting dalam memastikan bahwa kekayaan budaya Nusantara tidak hanya dikenang dalam sejarah, tetapi tetap hidup dan berkembang di masa depan.
*****
Jika kita merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan hukum tertinggi, tidak ada satu pun pasal yang secara jelas menyebutkan perihal aksara, baik aksara Latin yang umum digunakan maupun aksara Nusantara. Pasal 36 UUD 1945, yang membahas tentang bahasa, hanya mengakui Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun, pasal ini tidak berbicara mengenai aksara yang digunakan dalam bahasa tersebut. Bahkan, aksara Latin yang menjadi standar penulisan bahasa Indonesia saat ini tidak diakui secara eksplisit dalam konstitusi maupun produk hukum lainnya sebagai aksara resmi negara.4
Ketika berbicara tentang bahasa, aksara adalah instrumen penting yang tidak bisa diabaikan. Namun, sampai hari ini, produk hukum pasca-UUD 1945, seperti Undang-Undang tentang Bahasa, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, maupun berbagai Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang kebudayaan dan pendidikan, tidak ada satu pun yang memberikan kejelasan atau pengakuan formal terhadap aksara yang digunakan di Indonesia.5 Ini adalah sebuah kekosongan hukum yang menciptakan ketidakpastian bagi pelestarian aksara-aksara di nusantara.
Ketidakhadiran regulasi yang mengatur aksara secara khusus menimbulkan masalah serius, terutama bagi aksara-aksara tradisional Nusantara seperti Carakan Jawa, Batak, Bugis, Bali, Dayak, Lampung, Sunda, Sasak, Palembang dan lain-lain. Jangankan aksara Nusantara, aksara Latin—yang sehari-hari kita gunakan untuk menulis Bahasa Indonesia—tidak diakui secara resmi sebagai aksara persatuan dalam dokumen hukum apapun bahkan di dalam UUD 1945 sekalipun. Hal ini menjadi ironi tersendiri, mengingat bahasa sebagai alat komunikasi diakui, tetapi aksara sebagai medium penyampaiannya justru diabaikan.
Kondisi ini menyisakan ruang hampa bagi eksistensi aksara-aksara Nusantara di ranah hukum dan pendidikan. Meskipun kita sering melihat upaya pelestarian aksara dalam kegiatan budaya, festival, atau pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah, aksara-aksara ini tidak dilindungi oleh payung hukum yang kuat. Ketiadaan pengakuan formal ini menyebabkan aksara Nusantara kehilangan legitimasi dan daya tawar dalam sistem pendidikan nasional, di mana aksara Latin mendominasi tanpa perlu diakui secara formal.
Jika negara serius dalam mengakui kekayaan budaya dan kebahasaan Nusantara, maka aksara seharusnya masuk dalam kerangka hukum yang lebih jelas. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan misalnya, sudah mulai menyentuh pelestarian aksara tradisional, tetapi belum memberikan pengakuan formal atau mekanisme perlindungan hukum yang kuat. Demikian juga dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, yang berfokus pada penggunaan bahasa dalam ranah publik, tetapi tidak mencantumkan aksara sebagai bagian penting dari bahasa itu sendiri.
Amandemen UUD 1945
dan Revisi Produk Hukum di Bawahnya
Dalam konteks ini, langkah nyata yang perlu diambil adalah mengupayakan amandemen terhadap UUD 1945 untuk secara eksplisit mengakui aksara sebagai bagian penting dari identitas kebangsaan. Pasal 36 UUD 1945, khususnya di dalam Bab XV tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, seperti yang termaktub dalam pasal 35 tentang Bendera, Pasal 36 tentang Bahasa, Pasal 36A tentang Lambang Negara, Pasal 36B tentang Lagu Kebangsaan, dan dilanjutkan pada Pasal 36C yang berbunyi : “Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang”, yang saat ini hanya mengatur tentang Bahasa Indonesia, sebaiknya direvisi untuk memasukkan pengakuan terhadap aksara yang digunakan dalam bahasa nasional, serta memberikan ruang bagi pengakuan aksara-aksara tradisional Nusantara.
Amandemen ini akan memberikan landasan konstitusional bagi keberadaan aksara Nusantara dan menjadi dasar kuat untuk perumusan regulasi di bawahnya. Dengan pengakuan konstitusional, negara tidak hanya mengakui bahasa sebagai bagian dari identitas nasional, tetapi juga medium penulisannya—aksara—yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi.
Selain amandemen UUD 1945, produk-produk hukum di bawahnya seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Bahasa, dan berbagai Peraturan Pemerintah tentang Kebudayaan perlu direvisi untuk mengakomodasi pengakuan formal terhadap aksara Nusantara. Diantara aspek-aspek yang penting untuk direvisi antara lain: Pertama, Pengakuan dan Perlindungan Aksara. Aksara Nusantara harus diakui secara resmi oleh negara sebagai bagian dari warisan budaya dan kebahasaan yang dilindungi. Ini harus mencakup regulasi tentang pelestarian, pembelajaran, dan pemanfaatan aksara dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, Penggunaan Aksara dalam Sistem Pendidikan. Aksara Nusantara harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional, tidak hanya sebagai materi muatan lokal, tetapi sebagai bagian penting dari pendidikan kebudayaan dan sejarah nasional. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengajaran aksara sebagai bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain yang relevan. Ketiga, Aksara dalam Ruang Publik. Revisi juga perlu memperhatikan integrasi aksara Nusantara dalam berbagai aspek kehidupan publik. Ini termasuk penggunaannya dalam dokumen-dokumen resmi, papan nama jalan, dan berbagai bentuk komunikasi visual lainnya yang memungkinkan aksara-aksara ini terus hidup dalam ruang publik. Keempat, Pengembangan Teknologi dan Digitalisasi Aksara. Negara juga perlu mendukung digitalisasi aksara Nusantara dan pengembangannya dalam dunia teknologi, termasuk dalam perangkat lunak, situs web, dan aplikasi yang memungkinkan masyarakat luas dapat menggunakan aksara-aksara ini secara lebih luas dan modern.6
Upaya amandemen dan revisi hukum ini bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan langkah penting untuk menjaga keberlanjutan aksara Nusantara di masa depan. Aksara bukan hanya alat untuk mencatat sejarah, tetapi juga simbol kekayaan dan keragaman budaya yang harus dipertahankan.7 Tanpa pengakuan dan perlindungan hukum yang jelas, aksara-aksara tradisional kita akan semakin terpinggirkan dan lambat laun bisa hilang dari kehidupan masyarakat.
Dengan adanya amandemen UUD 1945 dan revisi produk hukum di bawahnya, kita berharap aksara Nusantara, termasuk Carakan Jawa, akan mendapatkan tempat yang layak dalam konstitusi negara, dihormati dalam sistem hukum, dan dipelihara sebagai bagian integral dari warisan budaya Indonesia.
Gerakan Pelestarian Aksara
sebagai Bagian dari Ketahanan dan Pertahanan NKRI
Selain dimensi kebudayaan dan hukum, gerakan pelestarian aksara Nusantara, termasuk Carakan Jawa, memiliki relevansi yang lebih dalam, yakni dalam konteks pertahanan dan ketahanan nasional. Identitas budaya dan bahasa suatu bangsa adalah fondasi yang menopang persatuan dan keberlanjutan negara. Dengan melestarikan aksara tradisional, kita menjaga aspek-aspek penting dari kekayaan budaya Nusantara yang membentuk jati diri bangsa.
Dalam era globalisasi dan homogenisasi budaya yang semakin kuat, mempertahankan identitas nasional menjadi bagian dari strategi ketahanan nasional. Aksara-aksara Nusantara bukan hanya sekadar warisan budaya yang estetis, melainkan juga lambang kemandirian budaya yang menjadi bagian dari kekuatan soft power Indonesia. Jika aksara Nusantara diabaikan, maka kita kehilangan salah satu pilar penting yang menjaga keberagaman dan keunikan Indonesia di antara negara-negara di dunia.
Gerakan ini juga relevan dalam konteks pertahanan negara. Mengabaikan identitas budaya dan keaksaraan berarti melemahkan daya tahan bangsa terhadap ancaman asimilasi budaya asing yang dapat menggerus akar-akar kebangsaan kita.8 Pengakuan dan pelestarian aksara Nusantara, selain menjadi bentuk penghargaan terhadap sejarah, juga merupakan langkah strategis dalam menjaga keutuhan NKRI. Dalam konteks ini, pelestarian aksara adalah bagian dari strategi pertahanan non-militer yang memperkuat kohesi sosial dan jati diri bangsa.
Dengan adanya amandemen UUD 1945 dan revisi produk hukum di bawahnya, serta perspektif ketahanan nasional yang lebih luas, kita berharap aksara Nusantara, termasuk Carakan Jawa, akan mendapatkan tempat yang layak dalam konstitusi negara, dihormati dalam sistem hukum, dan dipelihara sebagai bagian integral dari warisan budaya dan pertahanan Indonesia. Wallahu’alam.
Footnote:
- Adalah seorang Pegiat Aksara Nusantara dan Pengasuh PP. Bina Aksara Mulya, Piyungan, Yogyakarta
- Konsekwensi logis dari pemahaman seperti itu antara lain; tidak banyak dari para pemangku kepentingan (pemerintah) yang memiliki kepedulian mendalam atas isu ini. Bukan semata-mata karena keterbatasan anggaran tetapi lebih dari itu juga karena ketidakpahaman atas isu ini. Sementara bagi pemerintah yang memiliki anggara soal ini, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, selama beberapa tahun terakhir pun masih bersifat ornamental dan klangenan, tidak tampak berusaha untuk memperjuangkan isu aksara ini ke arah kepastian memperjuangkan aspek pengakuan hukumnya.
- Digitalisasi yang dimaksud di sini adalah upaya menulis ulang naskah-naskah kuno ke platform digital dalam bentuk teks agar mudah diakses oleh siapapun yang memiliki minat studi terhadap teks-teks kuno ini.
- Lihat UUD 1945 Bab XV Pasal 36
- UU No. 24 tahun 2009 Ttg bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan, PP No. 66 Thn 1951 ttg lambang negara, PP No. 40 Thn 1958 ttg bendera kebangsaan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Pengembangan, Pembinaan, Dan Pelindungan Bahasa Dan Sastra, Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. PP No. 44 Thn 1958 Ttg Lagu Kebangsaan
- Dalam beberapa hal, ini sudah dilakukan. Hanya sifatnya bukan dalam bentuk produk UU atau Peraturan. Akan tetapi lebih dijalankan karena keberhasilan lobby dan good will dari pemangku kepentingan (pemerintah).
- Untuk kasus seperti kita di Indonesia, barangkali belajar pada pengalaman bagaimana India mengakui eksistensi beberapa aksara menjadi contoh untuk keperluan yang kita bicarakan ini. Kita juga bisa belajar bagaimana China, Korea, Jepang dan Thailand menetapkan aksara resmi mereka.
- Contoh dalam kasus ini dapat kita lihat, misalnya, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6189130/bahasa-daerah-di-sulawesi-pakai-aksara-korea-ini-alasannya.