Saya ingin menyebutnya sebagai ‘ruh kebudayaan’. Dan, tempatnya ada di dalam relung-relung aksara Jawa sendiri. Sehingga menampilkan tagline #JOGJAkartaKotaHanacaraka, dengan sendirinya adalah upaya menempatkan kembali ruh kebudayaan ke wadahnya yang hakiki, yakni; aksara. Seberapa penting hal itu dilakukan. Apa dampaknya bagi generasi muda kita hari ini.
Saya teringat sebuah ucapan dari Prof. Yudha Giri Sucahyo (Ketua PANDI: Pengelola Nama Domain Internet Indonesia) dalam sebuah sambutan di arena Kongres Aksara Jawa (KAJ) I pada Maret 2021 lalu. Pak Yudha menyampaikan sambutan yang membuka kesadaran baru pentingnya pelestarian dan penggunaan aksara Jawa di era digital. Bahwa, semua aksara-aksara dunia yang tidak tampil (eksis) di ranah digital akan dianggap punah.
Indonesia begitu kaya dengan warisan aksaranya. Jika semata-mata karena persoalan eksistensial ini tidak tertangani bagaimana kita mampu bercermin pada masa lalu kita sendiri. Inilah pesan penting yang hendak disampaikan Prof. Yudha dalam sambutannya tersebut. Pesan ini tampak harus ditangkap sebagai sebuah peringatan dini. Jika kita tak segera menengok warisan leluhur kita itu, rasanya cermin masa lalu kita akan semakin buram dan kabur.
Rasa-rasanya tagline #JOGJAkartaKotaHanacaraka adalah upaya menangkap peringatan dini yang disampaikan Prof. Yudha. Dengan tagline itu diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya akselerasi dan pelaziman aksara Jawa di ranah public dan digital.
Ini merupakan kerja kebudayaan yang membutuhkan strategi dan visi besar dalam mewujudkannya. Tantangan-tantangan di era digital hari ini nyata dan berpengaruh, khususnya di kalangan anak-anak muda. Pada saat anak-anak muda kita sedang demam drakor (Drama Korea), bahkan dengan bangga dialek mereka sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, juga kesukarelaan mereka belajar aksara Korea, menunjukkan seberapa besar tantangan membumikan aksara Jawa di rumahnya sendiri.
Mampukah kita melewati fase ini dan mengembalikan kecintaan anak-anak muda kita pada aksaranya sendiri. Tentu hal ini membutuhkan keseriusan dalam mewujudkan pembumian eksistensi aksara Jawa di rumah sendiri. Artinya, aksara Jawa –seperti juga aksara Korea yang dibawa para drakor itu—bukanlah sesuatu yang sulit dipelajari. Bahwa bertahun-tahun anak-anak muda kita, sejak SD sampai SMA diajarkan, namun juga tak tampak dari mereka mengakrabinya, harus dilihat dari sisi lain mengapa bisa demikian.
Anak-anak muda kita mungkin tak bisa disalahkan karena tak lagi memahami aksara mereka sendiri. Barangkali ada sesuatu yang keliru dari cara kita menanamkan kecintaan pada aksara Jawa. Bukan semata-mata kurikulum pembelajaran dan kebiasaan menulis latin dalam pergaulan sehari-hari yang kemudian tampak menjadi tidak berguna belajar aksara Jawa. Akan tetapi, sampai hari ini sedikitpun kita belum punya ruang (baca: kebijakan) yang mendorong mereka menggunakan aksara Jawa secara massif.
Sebabnya kadang sederhana. Mereka tidak akan pernah dikatakan buta aksara apabila tak mengenal aksara Jawa. Sementara betapa buta hurufnya mereka jika tak bisa membaca dan menulis latin. Satire seperti inilah yang tampak terlihat dan dengan demikian mengukur posisi dan eksistensi aksara Jawa hari ini. Maka #JOGJAkartaKotaHanacaraka adalah sebuah visi tentang upaya mengembalikan ‘ruh kebudayaan’ ke wadahnya yang hakiki.
Sampai di sini, momentum peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) dan pencanangan #JOGJAkartaKotaHanacara seperti sebuah jawaban. Mungkin lebih tepatnya –semacam—etape pertama dari jalan panjang strategi kebudayaan dalam rangka membumikan aksara Jawa. Rasa-rasanya nasib sama juga dirasakan oleh aksara-aksara lokal nusantara lainnya di Indonesia. Selamat Hari Aksara Internasional.
(Akhmad Fikri AF. --Penulis adalah inisiator Komunitas KAMPUNG AKSARA Pacibita Jogjakarta--).
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 8 September 2021