Kebudayaan dan Identitas Nasional
Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, termasuk dalam hal bahasa dan aksara. Aksara-aksara tradisional seperti Carakan (Aksara Jawa), Aksara Bali, Aksara Batak, Aksara Lontara, dan lainnya adalah bagian integral dari sejarah panjang peradaban di Nusantara. Pengakuan terhadap aksara-aksara ini bukan hanya soal apresiasi budaya, tetapi juga tentang identitas nasional yang berakar pada keberagaman suku dan etnis yang ada di Indonesia. Mengabaikan aksara-aksara tersebut berpotensi menggerus identitas lokal yang menjadi bagian dari warisan leluhur bangsa.
Amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 36 yang berkaitan dengan bahasa, lambang negara, lagu kebangsaan dan bendera negara, sangat diperlukan untuk memperkuat posisi aksara-aksara Nusantara sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan yang harus dilestarikan dan dipromosikan. Jika Pasal 36 diamandemen untuk mencantumkan pengakuan terhadap aksara-aksara tradisional, maka negara akan memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi dan mengembangkan aksara-aksara tersebut. Ini bisa menjadi langkah strategis untuk mencegah kepunahan aksara tradisional dan menghidupkan kembali penggunaannya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Identitas Bangsa di Ranah Internasional
Pengakuan konstitusional atas aksara-aksara Nusantara juga penting dalam konteks internasional. Dalam era globalisasi, di mana kebudayaan asing seringkali mendominasi, menjaga dan mempromosikan budaya lokal, termasuk aksara tradisional, menjadi semakin penting. Amandemen Pasal 36 untuk memasukkan pengakuan aksara Nusantara dapat memperkuat diplomasi kebudayaan Indonesia di mata dunia. Negara-negara yang memiliki sistem aksara tradisional yang diakui secara konstitusional, seperti Jepang dengan Kanji atau Korea Selatan dengan Hangul, telah berhasil menjadikan aksara mereka sebagai simbol identitas nasional yang dikenal dunia. Indonesia pun bisa menempuh jalan serupa dengan memperjuangkan pengakuan aksara-aksara tradisionalnya.
Pengakuan atas aksara-aksara di nusantara dengan sendirinya akan memperkuat diplomasi dan promosi budaya di era digital. Ketertarikan wisatawan, misalnya, datang ke Indonesia juga karena kekaguman pada persebaran aksara-aksara di nusantara yang sedemikian banyak. Tentunya keberadaan aksara-aksara itu akan sangat membantu dalam menemukan ciri dan karakteristik beberapa suku bangsa di nusantara kita.
Pengakuan Hukum
Saat ini, meskipun aksara-aksara Nusantara diakui sebagai warisan budaya, belum ada payung hukum yang kuat untuk melindungi dan mengembangkan aksara-aksara tersebut secara maksimal. Dalam Pasal 36 UUD 1945, bahasa yang diakui hanya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Meskipun peraturan perundang-undangan di bawah UUD telah mencakup pelestarian budaya, amandemen pasal ini akan memberikan legitimasi yang lebih kuat terhadap upaya-upaya pelestarian aksara Nusantara.
Dengan pengakuan aksara Nusantara dalam Pasal 36, negara akan memiliki tanggung jawab untuk memasukkan aksara-aksara ini ke dalam kurikulum pendidikan, penggunaan dalam dokumen resmi, hingga promosi dalam teknologi dan media. Ini bisa menjadi landasan untuk melahirkan berbagai kebijakan yang mendukung revitalisasi dan pelestarian aksara tradisional.
Tentu masih ada masalah di sini. Jika semua aksara-aksara nusantara diakui secara konstitusional, bagaimana tata administrasi negara diberlakukan. Saya kira pasal 36 juga harus ditambahkan dengan frase: aksara resmi persatuan nasional dan aksara-aksara yang diakui negara sebagai aksara nasional. Aksara latin mungkin saja menjadi aksara persatuan nasional. Oleh karenanya administrasi negara memberlakukan aksara ini. Sementara aksara-aksara lainnya dapat menjadi dan bisa juga digunakan sebagai aksara komunikasi dan administrasi di mana aksara itu berkembang. Rasanya, nantinya secara teknis hal ini dapat dibuatkan mekanisme pemanfaatannya.
Terpenting dari hal itu, pengakuan dalam konstitusi dasar kita menjadi sangat mendesak dilakukan agar payung hukum atas penggunaan aksara-aksara di nusantara menemukan perlindungannya.
Reinventing Bhineka Tunggal Ika
Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman suku, budaya, dan bahasa. Dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika, pengakuan atas keberagaman merupakan landasan penting dalam membangun persatuan nasional. Amandemen UUD 1945 untuk mengakui aksara Nusantara akan menjadi bentuk nyata penghargaan negara terhadap warisan budaya dari berbagai daerah di Indonesia, sehingga memperkuat rasa kebanggaan masyarakat lokal terhadap identitas budaya mereka. Dengan demikian, pengakuan konstitusional ini dapat memperkuat integrasi nasional melalui pelestarian dan penghormatan terhadap kebudayaan lokal.
Inilah yang saya sebut sebagai reinventing bhineka tunggal ika. Reinventing dalam konteks ini bisa saya maknai sebagai upaya menghidupkan kembali tradisi menulis dan membaca berdasar pada kepemilikan atas aksara-aksara kita sendiri. Dengan demikian ada begitu banyak ragam bentuk dan karakter aksara-aksara di nusantara. Tetapi, semua seperti mencerminkan sesuatu yang terus kita gaungkan: Bhineka Tunggal Ika.
*****
Amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 36, untuk memasukkan pengakuan konstitusional atas aksara-aksara Nusantara adalah langkah penting dalam rangka melestarikan warisan budaya yang kaya serta memperkuat identitas nasional. Ini tidak hanya akan memberikan perlindungan hukum yang kuat terhadap aksara tradisional, tetapi juga mendorong kebangkitan kembali penggunaannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan dalam diplomasi budaya di tingkat internasional. Negara memiliki kewajiban untuk menjaga kekayaan budaya ini sebagai bagian dari komitmen terhadap keberagaman dalam bingkai persatuan. Wallahu’alam. (Akhmad Fikri AF. Pegiat Aksara Nusantara dan Pengasuh PP. Bina Aksara Mulya, Piyungan, Bantul, Yogyakarta)