Saat ini, banyak aksara lokal yang hanya dikenal sebagai peninggalan sejarah dan tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa aksara seperti Aksara Carakan (Jawa) dan Aksara Bali, aksara Sunda masih diajarkan di sekolah-sekolah lokal di daerahnya, namun kebanyakan hanya bersifat simbolik tanpa penekanan pada pemahaman yang mendalam. Sementara itu, aksara-aksara lain seperti aksara Rejang, aksara Batak, dan aksara Bugis lebih banyak ditemukan dalam naskah-naskah kuno yang tersimpan di museum atau koleksi pribadi para pegiat budaya.
Kondisi ini tentu menimbulkan tantangan tersendiri dalam upaya pelestarian aksara lokal. Tantangan tersebut meliputi kurangnya minat generasi muda terhadap pembelajaran aksara lokal, minimnya materi pembelajaran yang disusun dengan metode yang menarik, serta terbatasnya akses terhadap naskah-naskah kuno yang dapat dijadikan referensi. Selain itu, perubahan pola komunikasi masyarakat yang lebih mengutamakan media digital juga menjadikan aksara lokal semakin terpinggirkan.
Namun, di tengah tantangan tersebut, muncul inisiatif dari beberapa komunitas yang mencoba untuk menghidupkan kembali penggunaan aksara lokal. Di beberapa daerah, para pegiat budaya dan akademisi mulai menginisiasi program pengajaran aksara di sekolah-sekolah dan komunitas. Mereka menggunakan media digital, seperti aplikasi belajar aksara dan platform media sosial, untuk menarik minat anak-anak muda agar mulai mengenal kembali aksara warisan leluhur mereka. Gerakan ini tidak hanya dilakukan oleh individu-individu lokal, tetapi juga didukung oleh berbagai pihak seperti pemerintah daerah dan lembaga non-profit yang peduli terhadap pelestarian budaya.[2]
Salah satu contoh inisiatif yang menarik adalah digitalisasi aksara Carakan Jawa dan Sunda yang dilakukan oleh beberapa komunitas di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Melalui aplikasi mobile yang mudah diakses, anak-anak muda dapat belajar menulis dan membaca aksara Jawa dan Sunda dengan cara yang interaktif. Aplikasi ini menyediakan materi belajar yang disusun secara bertahap, mulai dari pengenalan bentuk-bentuk aksara hingga latihan menulis kata-kata sederhana.
Di Sulawesi Selatan, komunitas lokal Bugis telah mengembangkan platform daring yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses naskah-naskah Lontara dalam bentuk digital. Platform ini juga menyediakan terjemahan ke bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sehingga naskah-naskah tersebut bisa dipahami oleh khalayak yang lebih luas. Upaya ini bukan hanya untuk melestarikan aksara, tetapi juga untuk memperkenalkan kekayaan sastra Bugis kepada dunia internasional.
Perkembangan teknologi digital saat ini memberikan peluang besar bagi upaya pelestarian aksara lokal di Indonesia. Era digital bukan hanya menawarkan berbagai kemudahan dalam hal komunikasi, tetapi juga menjadi ruang terbuka untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan aksara-aksara lokal yang mulai tergerus zaman. Internet dan media sosial memungkinkan terjadinya kolaborasi lintas daerah dan generasi untuk mempopulerkan kembali aksara lokal, serta menciptakan wadah bagi masyarakat untuk berinteraksi dan belajar bersama.
Teknologi digital, seperti aplikasi belajar bahasa dan aksara, platform media sosial, hingga digitalisasi naskah kuno, telah memberikan ruang bagi aksara lokal untuk dikenal kembali oleh generasi muda. Salah satu bentuk yang paling terlihat adalah munculnya aplikasi pembelajaran aksara lokal yang dapat diunduh melalui smartphone. Aplikasi seperti ini menyediakan panduan interaktif untuk mengenal bentuk aksara, cara menulis, serta contoh-contoh kalimat dalam aksara tersebut. Dengan format yang lebih menarik, aplikasi ini mampu menjangkau kalangan muda yang sehari-harinya akrab dengan gawai.
Selain itu, inisiatif digitalisasi naskah kuno juga sangat membantu dalam melestarikan aksara lokal. Beberapa perpustakaan nasional dan daerah, serta universitas, telah mengembangkan proyek digitalisasi naskah-naskah kuno yang ditulis dalam aksara lokal. Digitalisasi ini memungkinkan naskah-naskah tersebut diakses oleh siapa saja melalui internet, sehingga peneliti, pelajar, dan masyarakat umum dapat mempelajari isi dan bentuk tradisi kepenulisan aksara yang mungkin sudah jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Langkah ini juga menjadi upaya untuk menyelamatkan naskah-naskah dari kerusakan fisik akibat usia.
Di samping digitalisasi, media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube juga menjadi sarana yang potensial untuk memperkenalkan aksara lokal. Berbagai konten edukatif dan kreatif tentang cara menulis aksara Jawa, Sunda, Lontara, dan lainnya dapat menarik perhatian generasi muda. Mereka dapat belajar sambil menikmati sajian konten yang dikemas dengan gaya yang menarik dan sesuai tren. Beberapa konten kreator bahkan telah membuat video tutorial, infografis, dan tantangan menulis aksara lokal, yang mampu menghidupkan kembali semangat belajar aksara di kalangan anak muda.
Selain sebagai bagian dari identitas budaya, aksara lokal juga memiliki potensi besar untuk mendukung sektor pariwisata di Indonesia. Dengan menonjolkan aksara lokal sebagai elemen desain di berbagai tempat wisata, seperti pada papan nama, brosur wisata, atau suvenir khas daerah, aksara lokal dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Wisatawan yang datang tidak hanya sekadar menikmati keindahan alam dan kuliner lokal, tetapi juga bisa mendapatkan pengalaman yang lebih otentik melalui interaksi dengan elemen budaya yang autentik, termasuk aksara lokal.
Sebagai contoh, aksara Bali yang sering ditampilkan dalam papan penunjuk jalan di Bali bukan hanya sekadar dekorasi, tetapi juga menjadi sarana untuk mengenalkan aksara tersebut kepada para wisatawan. Wisatawan yang penasaran akan bertanya atau mencari tahu tentang makna tulisan yang mereka temui, sehingga tercipta interaksi budaya yang mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa aksara lokal tidak hanya berfungsi sebagai identitas masyarakat, tetapi juga sebagai aset pariwisata yang memiliki nilai jual tersendiri.
Potensi ini juga dapat diperluas dengan mengembangkan paket wisata edukasi yang mengajak wisatawan belajar tentang sejarah aksara lokal di daerah tertentu, mengunjungi museum naskah kuno, atau mengikuti lokakarya menulis aksara. Dengan begitu, wisatawan bisa mendapatkan pengalaman wisata yang berbeda dan lebih bermakna. Di sisi lain, masyarakat lokal juga bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari kunjungan wisatawan yang tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang warisan budaya mereka. Wallahu’alam. (Akhmad Fikri AF., Penulis adalah pegiat aksara nusantara dan pengasuh PP. Bina Aksara Mulya, Yogyakarta)
[1] Dampak nyata kebijakan politik etis Belanda yang pada akhirnya sangat merugikan kita. Terlebih mentalitas kita masih terbawa arus konstruksi politik kolonial. Di bidang aksara sampai hari ini selalu kita dengar bahwa pemberantasan buta huruf nasional artinya adalah mengajarkan masyarakat agar mampu membaca dan menulis dengan aksara latin.