Dari gagasan RICH sebagaimana dikemukakan Fadli Zon ini dapat dilihat keseriusan negara untuk menjembatani masa lalu-hari ini-masa mendatang. Sesuatu yang sejak lama juga sering saya sampaikan dalam obrolan-obrolan warung kopi, yakni; pentingnya kita mengerti jalan pulang. Betapa rapuhnya sebuah bangsa yang kehilangan masa lalunya. Betapa lemahnya kita berdiri di tengah peta perubahan dunia hari ini. Betapa suramnya sebuah bangsa yang tak memiliki rencana masa depannya.
Itulah mengapa gagasan RICH yang dikemukakan Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan membuat saya tertegun. Baru sekarang saya mendengar sebuah visi dari satu kementerian yang cukup jelas apa maunya. Setidaknya secara visi Kementerian Kebudayaan sudah on the rights track.
Atas gagasan RICH ini saya ingin memberikan sebuah catatan tentang pentingnya menghidupkan kembali tradisi membaca dan menulis dengan aksara-aksara local nusantara yang masih ada dan digunakan secara sangat terbatas di beberapa wilayah di Indonesia. Pentingnya menghidupkan kembali tradisi ini bukanlah romantisme. Ini soal terbukanya kesempatan cukup besar di era digital sekarang untuk bisa terlibat dalam transaksi budaya sekaligus menciptakan jembatan penghubung masa lalu-kini-mendatang.
Memberantas Buta Aksara Nusantara
Saya kira, menghidupkan kembali tradisi membaca dan menulis dengan aksara-aksara Nusantara merupakan sebuah upaya yang memiliki nilai strategis di tengah perkembangan era digital saat ini. Banyak yang memandang upaya ini sebagai bentuk romantisme masa lalu. Namun pada kenyataannya, ini lebih dari sekadar nostalgia. Seperti saya kemukakan sebelumnya, salah satu bentuk RICH adalah menghidupkan kembali warisan budaya yang pernah menjadi denyut kehidupan masyarakat di Nusantara dan menjadikannya relevan di era modern (era digital). Tidak hanya sebagai upaya memperkuat identitas kebangsaan kita, tetapi juga sebagai peluang untuk menciptakan transaksi budaya yang lebih luas melalui medium digital.
Keberadaan aksara-aksara nusantara seperti Carakan (Jawa), Aksara Sunda, Aksara Minang, Aksara Lampung, Aksara Ulu, Batak, Buri (Bugis), Aksara Lontara, Incung (Kerinci), dan berbagai aksara lainnya merupakan bagian dari sejarah panjang peradaban di Indonesia. Di masa lalu, aksara-aksara ini digunakan sebagai alat komunikasi dan penyimpanan pengetahuan. Sayangnya, penggunaan aksara-aksara ini mengalami penurunan drastis sejak masa kolonial, hingga kini hanya digunakan dalam lingkup yang sangat terbatas di beberapa wilayah. Kondisi ini menjadi tantangan besar dalam menjaga kesinambungan sejarah dan warisan leluhur yang tak ternilai.
Di sisi lain, perkembangan teknologi digital memberikan harapan baru bagi pelestarian aksara-aksara di nusantara. Era digital membuka peluang besar untuk mengangkat kembali aksara-aksara ini ke permukaan melalui berbagai media (platform) seperti aplikasi pembelajaran, digitalisasi naskah kuno, dan promosi melalui media sosial. Dengan keterlibatan aktif dalam memanfaatkan teknologi, aksara-aksara nusantara dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan masa lalu, kini, dan mendatang. Keterlibatan ini juga memperkaya identitas budaya bangsa dalam konstelasi global yang semakin terhubung. Saya rasa inilah yang dapat dijadikan salah satu fokus dari RICH sebagaimana dikemukakan Pak Menteri Kebudayaan beberapa waktu lalu.
Hanya saja patut disayangkan adalah banyak aksara-aksara nusantara kita ini berada di ambang kepunahan, tak ada lagi yang berminat mempelajarinya. Bahkan, semakin sedikit generasi muda yang mampu membacanya. Hal ini menciptakan fenomena "buta aksara Nusantara," di mana masyarakat Indonesia, meski melek huruf dalam aksara Latin, justru tidak lagi mengenal aksara warisan leluhur mereka sendiri. RICH sebagaimana menjadi visi besar kementerian kebudayaan hari ini diharapkan dapat melihat kecenderungan ini. Dan, pada saat yang sama berusaha menghidupkan kembali dengan –tentunya—tidak melupakan memperjuangkan status hukum dari keberadaan aksara-aksara nusantara tersebut.
Pemberantasan buta aksara Nusantara menjadi sangat penting sebagai upaya untuk menjaga kesinambungan sejarah dan budaya bangsa. Buta aksara Nusantara tidak hanya sekadar ketidakmampuan membaca dan menulis dalam aksara-aksara nusantara, tetapi juga menyiratkan hilangnya akses terhadap kekayaan intelektual yang terekam dalam naskah-naskah kuno. Padahal, naskah-naskah tersebut mengandung nilai-nilai filosofis, etika, dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga bagi perkembangan masyarakat modern.[2] Melalui pemberantasan buta aksara Nusantara, masyarakat dapat kembali mengakses dan mempelajari warisan kebijaksanaan yang tertuang dalam teks-teks beraksara nusantara.
Di samping itu, pemberantasan buta aksara Nusantara juga berkaitan erat dengan upaya meningkatkan literasi budaya di kalangan generasi muda. Literasi budaya yang kuat memungkinkan masyarakat untuk lebih memahami identitas dan akar sejarah mereka, sehingga dapat menghadapi tantangan global tanpa kehilangan jati diri. Mengajarkan kembali cara membaca dan menulis aksara-aksara nusantara tidak hanya menumbuhkan rasa bangga terhadap warisan budaya, tetapi juga membuka peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam transaksi budaya di era digital. Aksara-aksara nusantara yang dihidupkan kembali dapat digunakan sebagai elemen kreatif dalam seni, desain, bahkan media digital, sehingga menjadi bagian dari kehidupan modern tanpa kehilangan nilai tradisionalnya.
Oleh karena itu, mengatasi buta aksara Nusantara bukanlah sekadar upaya pelestarian, tetapi juga investasi bagi keberlanjutan budaya bangsa di masa depan. Dengan semakin banyaknya inisiatif yang mendukung pengajaran aksara-aksara nusantara, mulai dari komunitas hingga pemerintah, peluang untuk menghidupkan kembali tradisi ini semakin terbuka lebar. Memahami urgensi pemberantasan buta aksara Nusantara adalah langkah awal yang penting untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai bangsa yang tidak hanya modern tetapi juga kaya akan nilai-nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Beberapa negara telah menunjukkan kesuksesan dalam menghidupkan kembali aksara kuno di era digital, yang dapat menjadi inspirasi bagi upaya pelestarian aksara-aksara nusantara di Indonesia. Misalnya, Korea Selatan berhasil memperkenalkan aksara Hangul kepada dunia melalui berbagai program digital dan kampanye budaya. Meskipun Hangul sudah menjadi aksara resmi Korea sejak lama, pemerintah dan komunitas budaya di Korea terus mengembangkan aplikasi belajar Hangul yang didesain menarik dan mudah diakses oleh masyarakat global. Kampanye "Learn Hangul" di media sosial, serta penyelenggaraan kelas-kelas daring, membantu aksara ini semakin dikenal di dunia internasional.
Contoh lain adalah Jepang, yang menggunakan teknologi digital untuk memperkenalkan kembali aksara kuno seperti Kanji klasik dan kaligrafi tradisional. Melalui game edukatif, aplikasi ponsel, serta platform pembelajaran daring, aksara-aksara ini menjadi lebih mudah diakses oleh generasi muda, baik di dalam maupun luar Jepang. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa teknologi digital dapat menjadi alat yang efektif untuk mempopulerkan aksara tradisional dan menjadikannya relevan dengan kehidupan modern.
Indonesia dapat belajar dari negara-negara tersebut dengan mengembangkan program serupa yang disesuaikan dengan kondisi lokal. Dengan memperkenalkan aksara-aksara nusantara sebagai bagian dari budaya yang hidup, bukan sekadar peninggalan masa lalu. Aksara-aksara nusantara sebagaimana saya kemukakan itu bisa menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat dan menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia global yang semakin terhubung.
Membangun Jembatan Budaya: Masa Lalu, Kini, dan Mendatang
Menghidupkan kembali tradisi membaca dan menulis dengan aksara-aksara Nusantara bukan hanya tentang pelestarian budaya, tetapi juga tentang membangun jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Aksara-aksara ini menyimpan cerita, nilai, dan kebijaksanaan dari para leluhur yang pernah hidup di tanah Nusantara. Melalui aksara-aksara ini, kita dapat mempelajari bagaimana para leluhur mengartikan dunia di sekitarnya, mencatat peristiwa penting, serta mewariskan pengetahuan kepada generasi berikutnya.
Mengintegrasikan aksara-aksara nusantara dalam kehidupan masyarakat modern bukan berarti menolak kemajuan atau bersikap eksklusif terhadap budaya global, melainkan menciptakan harmoni antara tradisi dan inovasi. RICH secara visi pastinya menyadari bahwa tradisi dan inovasi dapat berjalan seiring dengan tuntutan modernitas hari ini. Menghidupkan aksara-aksara nusantara memberikan ruang bagi generasi muda untuk merasa memiliki dan bangga terhadap akar budaya mereka. Di tingkatan yang lain, tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dalam konteks ini, aksara-aksara nusantara berfungsi sebagai jembatan yang mempertemukan berbagai generasi, menjadikan mereka bagian dari rangkaian sejarah yang panjang.
Setiap aksara-aksara nusantara memiliki nilai historis yang penting untuk dipahami, terutama karena ia merekam berbagai peristiwa, cerita, dan pemikiran yang mungkin tidak ditemukan dalam catatan-catatan resmi yang menggunakan bahasa dan aksara Latin. Misalnya, dalam naskah-naskah kuno yang ditulis dalam aksara Jawa atau Bugis, kita bisa menemukan puisi, mantra, dan filsafat hidup yang menggambarkan pandangan hidup masyarakat pada masa itu. Naskah-naskah tersebut bisa menjadi jendela untuk memahami kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di masa lalu.
Dengan memahami isi naskah-naskah kuno tersebut, kita dapat lebih menghargai kekayaan intelektual nenek moyang kita dan menyadari bahwa mereka memiliki pandangan hidup yang mendalam serta sistem pengetahuan yang unik. Pengetahuan ini bisa menjadi sumber inspirasi untuk menyelesaikan tantangan-tantangan kontemporer, seperti krisis lingkungan, pengelolaan sumber daya alam, dan harmonisasi antara manusia dengan alam. Aksara-aksara nusantara menjadi medium yang memungkinkan kita untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan hingga saat ini.
Mempopulerkan kembali aksara-aksara nusantara di kalangan generasi muda membutuhkan pendekatan yang kreatif dan adaptif. Salah satu pendekatan yang efektif adalah dengan mengintegrasikan aksara-aksara nusantara ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah.[3] Namun, pengajaran aksara ini perlu dirancang secara menarik, misalnya melalui metode gamifikasi, di mana siswa diajak bermain sambil belajar mengenal bentuk dan cara menulis aksara. Hal ini dapat meningkatkan minat belajar dan rasa ingin tahu siswa terhadap aksara-aksara nusantara.
Selain itu, melibatkan generasi muda dalam proyek-proyek kreatif yang menggunakan aksara-aksara nusantara juga bisa menjadi strategi yang efektif. Misalnya, lomba desain grafis dengan menggunakan aksara-aksara nusantara, atau pembuatan komik dan ilustrasi yang memanfaatkan aksara sebagai elemen visual. Dengan cara ini, aksara-aksara nusantara tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang kaku dan kuno, tetapi menjadi bagian dari ekspresi seni yang modern dan relevan dengan minat generasi saat ini.
Kegiatan berbasis komunitas juga memiliki peran penting dalam pelestarian aksara-aksara nusantara. Mendirikan komunitas pecinta aksara di berbagai daerah bisa menjadi sarana untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam belajar aksara. Komunitas ini dapat menyelenggarakan lokakarya, seminar, atau diskusi rutin tentang aksara dan naskah kuno, yang diharapkan bisa menginspirasi lebih banyak orang untuk ikut serta dalam gerakan pelestarian. Keberadaan komunitas ini juga membantu menciptakan rasa kebersamaan dan identitas kolektif di antara para anggotanya.[4]
Upaya untuk menghidupkan kembali aksara-aksara nusantara membutuhkan kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi, dan komunitas. Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung pengajaran aksara-aksara nusantara di sekolah-sekolah, serta memberikan dukungan dalam bentuk pendanaan untuk proyek-proyek digitalisasi naskah kuno.[5] Selain itu, pemerintah juga dapat mengadakan kampanye nasional yang bertujuan untuk mengenalkan aksara-aksara nusantara kepada masyarakat luas, seperti melalui pameran budaya, festival aksara, atau program-program di media massa.
Peran akademisi juga tidak kalah penting, terutama dalam melakukan penelitian yang mendalam tentang sejarah dan penggunaan aksara-aksara nusantara. Akademisi dapat melakukan studi filologi terhadap naskah-naskah kuno yang masih tersimpan di berbagai tempat, serta menulis artikel dan buku yang memudahkan masyarakat dalam memahami kekayaan aksara-aksara nusantara. Selain itu, akademisi dapat berkolaborasi dengan komunitas lokal untuk mengadakan pelatihan dan seminar tentang cara membaca dan menulis aksara-aksara nusantara, sehingga pengetahuan tersebut dapat disebarkan ke masyarakat yang lebih luas.
Komunitas lokal memiliki kekuatan dalam menjaga semangat pelestarian budaya di tingkat akar rumput. Mereka adalah agen-agen perubahan yang paling dekat dengan masyarakat, sehingga dapat memberikan dampak langsung terhadap upaya pelestarian aksara-aksara nusantara. Komunitas ini seringkali berperan sebagai penghubung antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat, dengan menginisiasi berbagai kegiatan yang mempromosikan aksara-aksara nusantara. Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah dan akademisi kepada komunitas-komunitas ini sangat penting agar mereka dapat berkembang dan terus berkarya.
Sampai di sini, kita menjadi tahu. RICH bukan slogan main-main. Di dalamnya ada gagasan penting dan mendalam tentang kesadaran untuk memperkuat identitas nasional di era digital. RICH (kaya) adalah cermin dari kekayaan budaya dan juga kekayaan variasi aksara-aksara di nusantara. Wallahu’alam.
[1] Akhmad Fikri AF., seorang pegiat Aksara Nusantara dan Pengasuh PP. Bina Aksara Mulya, Piyungan, Bantul, Yogyakarta.
[2] Benar bahwa naskah-naskah kuno itu dapat saja diterjemahkan dan dilatinisasi agar lebih mudah dibaca hari ini. Proses ini tidaklah cukup. Sebab perbedaan nuansa, cara kita memahami teks dan bagaimana kita menafsirkan akan sangat berbeda apabila kita mampu membaca teks-teks aslinya.
[3] Dalam konteks ini, Kementerian Kebudayaan dapat menjalin komunikasi intensif dengan beberapa kementerian, khususnya tiga Kementerian yang mengurusi pendidikan dan Kementerian Hukum. Dengan Kementerian Pendidikan adalah merancang kurikulum baru di semua tingkatan agar termuat pembelajaran aksara-aksara nusantara di semua institusi Pendidikan. Dengan kementerian hukum adalah mencari celah hukum dan membuat kebijakan baru agar payung hukumnya tersedia.
[4] Dalam konteks ini sangat dimungkinkan Kementerian Kebudayaan membuat pilot project nasional tentang kampung-kampung aksara, yang memungkinkan para pegiat aksara nusantara dan komunitas-komunitas lainnya saling bertukar gagasan, merancang pelatihan-pelatihan dan tentunya kampanye nasional RICH berbasis aksara-aksara nusantara
[5] Payung hukum ini menjadi sangat penting. Lihat tulisan saya sebelumnya di alamat web ini: https://www.gerbangpraja.com/index.php/essay/item/66-kado-pelantikan-presiden-ri dan lihat juga : https://www.gerbangpraja.com/index.php/essay/item/63-eksistensi-aksara-aksara-di-nusantara