Namun, pemaknaan turats yang terbatas pada karya-karya dari periode klasik Islam di Timur Tengah mengabaikan kenyataan bahwa Islam telah berkembang di berbagai wilayah dan menghasilkan khazanah pemikiran yang relevan dengan konteks lokal. Misalnya, ulama-ulama Nusantara, India, Afrika, dan wilayah lainnya juga telah menyumbangkan karya-karya penting yang tidak kalah dalam hal kedalaman dan relevansi.[1] Oleh karena itu, turats seharusnya mencakup segala bentuk warisan intelektual Islam, baik yang berasal dari pusat-pusat tradisional Islam maupun dari wilayah-wilayah lain di dunia.
*****
Ada beberapa alasan mengapa pemikiran Islam lokal, seperti yang berkembang di Asia Tenggara dan Afrika, misalnya, sering kali tidak diakui sebagai bagian dari turats keislaman. Pertama, Sentrisme Timur Tengah dalam Studi Islam. Sejak awal peradaban Islam,Timur Tengah telah menjadi pusat perkembangan ilmu-ilmu keislaman, baik dari segi teologi, hukum, maupun filsafat. Pengaruh sentrisme ini begitu kuat sehingga karya-karya ulama di luar Timur Tengah sering dianggap "pinggiran" atau kurang otoritatif. Timur Tengah dilihat sebagai tempat lahirnya Islam, dan karena itu, pemikiran yang berkembang di sana dianggap lebih otentik dibandingkan dengan pemikiran yang muncul di wilayah lain. Akibatnya, kajian-kajian keislaman global cenderung fokus pada pemikiran dari Timur Tengah, sementara kontribusi dari wilayah-wilayah lain diabaikan.
Kedua, Fokus pada Periode Klasik. Dalam kajian turats, periode klasik Islam (abad 1-4 H) sering dianggap sebagai "masa keemasan" di mana berbagai disiplin ilmu Islam dikodifikasikan dan distandardisasi. Para ulama besar seperti Imam Syafi'i, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun hidup pada masa ini, dan karya-karya mereka menjadi rujukan utama dalam kajian Islam. Karena itu, turats sering dipersepsikan hanya mencakup karya-karya yang lahir pada masa tersebut. Pemikiran dari periode atau wilayah lain dianggap kurang signifikan atau inovatif. Ketiga, Kurangnya Akses terhadap Karya Ulama Lokal. Banyak karya ulama-ulama lokal dari wilayah-wilayah di luar Timur Tengah, seperti Nusantara, yang belum terdokumentasikan dengan baik atau diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan bahasa internasional lainnya. Hal ini mengakibatkan karya-karya tersebut tidak banyak dikenal di luar komunitas lokal dan tidak masuk dalam arus utama kajian Islam global. Sebagai contoh, naskah-naskah kuno dari ulama Jawa atau Melayu sering masih tersimpan dalam bentuk manuskrip yang belum diteliti atau dipublikasikan secara luas.[2]
Keempat, Minimnya Kajian Akademis terhadap Pemikiran Lokal. Di banyak universitas Islam, terutama yang berada di Timur Tengah atau yang mengadopsi kurikulum Timur Tengah, pemikiran ulama lokal di luar kawasan tersebut sering kali tidak menjadi bagian dari kurikulum. Studi Islam lebih terfokus pada karya-karya ulama Timur Tengah, sehingga pemikiran dari Asia Tenggara, Afrika, atau wilayah lain tidak mendapatkan tempat yang layak dalam studi akademis keislaman.[3]
*****
Islam adalah agama universal yang dianut oleh berbagai etnis, budaya, dan masyarakat di seluruh dunia. Oleh karena itu, warisan intelektual Islam juga seharusnya mencerminkan keragaman ini. Memasukkan pemikiran ulama lokal dari wilayah-wilayah seperti Nusantara dan Afrika, misalnya, dalam kategori turats akan mengakui bahwa setiap komunitas Muslim telah berkontribusi pada pengembangan pemikiran Islam, sesuai dengan konteks sosial, politik, dan budaya mereka. Dengan begitu ada semacam penghargaan atas upaya-upaya pribumisasi Islam sebagaimana juga digagas oleh Gus Dur sekitar tahun 80an.[4]
Dengan memasukkan karya-karya ulama lokal ke dalam kajian turats, diskursus keislaman global akan menjadi lebih kaya dan beragam. Banyak ulama lokal yang telah mengembangkan tafsir, fiqh, dan pemikiran sosial-keagamaan yang relevan dengan masalah-masalah kontemporer di wilayah mereka. Misalnya, ulama Nusantara seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Arsyad Al-Banjari, KH. Bisri Musthofa, KH. Sahal Mahfudh, KH. Misbah Bin Zainul Musthofa, Syaikh Ihsan Jampes Kediri, dan masih banyak para ulama-ulama kita telah memberikan kontribusi penting yang dapat dipelajari dan diaplikasikan oleh umat Islam di luar wilayah mereka.
Pengakuan terhadap turats lokal akan mendorong generasi muda Muslim untuk lebih menghargai warisan intelektual mereka sendiri. Hal ini penting untuk menjaga kesinambungan tradisi keilmuan lokal, serta mendorong pengembangan pemikiran Islam yang kontekstual dan relevan dengan tantangan zaman modern. Mengakui kontribusi ulama dari berbagai wilayah Muslim di luar Timur Tengah akan membantu menciptakan diskursus Islam yang lebih plural dan inklusif. Dengan demikian, kita dapat menghindari hegemoni pemikiran dari satu wilayah atau satu periode tertentu, dan membuka ruang bagi perdebatan intelektual yang lebih luas dalam konteks Islam global.
*****
Dengan demikian turats sebagai warisan intelektual Islam tidak seharusnya dibatasi pada karya-karya yang berkembang di Timur Tengah atau hanya pada periode klasik. Islam adalah agama yang menyebar ke seluruh dunia, dan setiap wilayah di mana Islam berkembang memiliki warisan intelektualnya sendiri, yang penting saja penting bagi masyarakat local mereka. Memperluas definisi turats untuk mencakup pemikiran dari wilayah-wilayah seperti Asia Tenggara dan Afrika, bahkan Eropa akan memperkaya khazanah keilmuan Islam dan mengakui keberagaman pemikiran Islam di seluruh dunia. Dengan demikian, kita dapat membangun tradisi keilmuan Islam yang lebih inklusif, plural, dan relevan bagi umat Islam di masa kini dan masa depan. Wallahu’alam.
[1]Adalah Seorang Penggerak Aksara Nusantara dan Pengasuh PP. Bina Aksara Mulya
[2] Dalam kasus tertentu seperti Islam di Nusantara, misalnya, tidak sedikit ulama-ulama kita menulis tema-tema keagamaan dengan aksara-aksara local nusantara yang telah mentradisi di kalangan mereka. Buat saya, apa yang mereka lakukan tidak semata-mata mendekatkan pemikirannya kepada para pembaca. Lebih dari itu juga bagian dari cara mereka membumikan Islam di Nusantara.
[3 Dalam konteks inilah menjadi penting penguasaan atas aksara-aksara local di Nusantara. Oleh karena tidak sedikit dari para ulama kita menulis dengan Bahasa dan aksara local kita sendiri. Baik itu kitab-kitab yang tertulis dengan aksara Arab-Melayu (huruf Jawi), Pegon dan aksara-aksara local lainnya seperti; aksara carakan Jawa, aksara lontara, aksara Sasak, aksara Minang, dll.
[4] Bahkan di banyak pesantren di Indonesia saat ini, tidak banyak mengajarkan karya-karya ulama nusantara khususnya karya-karya mereka yang ditulis dengan aksara local nusantara. Padahal, karya-karya ulama nusantara kita itu justru menjadi bahan pembelajaran di majlis-majlis ilmu atau pesantren di wilayah Malaysia. Hal ini pernah saya dengar langsung dalam perbincangan dengan para ulama sewaktu penulis sempat diundang berbicara tentang jaringan keilmuan pesantren di Indonesia oleh Universitas Kebangsaan Malaysia, sekitar tahun 2006 lalu.
[5] Gagasan Pribumisasi Islam oleh Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) adalah upaya untuk membuat Islam berakar kuat pada kebudayaan lokal Indonesia tanpa mengubah esensi ajaran agama. Islam, sebagai agama yang bersifat universal, harus mampu berdialog dan berinteraksi dengan budaya setempat di mana agama ini berkembang, termasuk di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya. Diantara gagasan inti Pribumisasi Islam sebagaimana dikemukakan Gus Dur yakni: Islam sebagai agama yang luwes dan fleksibel: Bahwa Islam memiliki fleksibilitas yang memungkinkan penyesuaian dengan konteks budaya lokal. Islam tidak harus dipraktikkan secara kaku sesuai dengan tradisi Timur Tengah. Menjaga keutuhan ajaran, menghormati budaya lokal: Gus Dur menekankan pentingnya menjaga ajaran Islam, tetapi tidak menolak unsur-unsur budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Misalnya, tradisi keagamaan seperti tahlilan, yasinan, atau selametan, meskipun tidak berasal dari ajaran Islam, dapat dipertahankan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Menghindari Arabisasi: Gus Dur mengkritik fenomena "Arabisasi," yaitu upaya memaksakan budaya Arab sebagai bagian dari ajaran Islam. Menurutnya, tidak semua praktik atau budaya Arab perlu diadopsi dalam ber-Islam di Indonesia, karena konteks budaya dan sejarah bangsa Indonesia berbeda. Islam yang toleran dan inklusif: Gagasan ini juga mencerminkan prinsip inklusivitas dan toleransi yang sangat dijunjung tinggi oleh Gus Dur. Islam harus mampu hidup berdampingan secara damai dengan keberagaman agama dan budaya di Indonesia, khususnya dalam menciptakan harmoni sosial di kehidupan berbangsa dan bernegara.