Saat ini Mbah Pariyem tinggal sendiri di rumahnya. Sementara, rumah anak tunggalnya, persis berada di depan rumah Mbah Pariyem. Tak ada lagi rumah di sekitar itu. Sisi barat lereng perbukitan. Beberapa puluh meter berjalan ke sisi timur sudah bertemu dengan jalan raya. Saya bisa membayangkan, bagaimana suasana lingkungan rumahnya di tahun-tahun 70-an, dengan –barangkali- keadaan listrik yang tidak seperti sekarang.
Betapa saya sulit membayangkan, bukan saja karena semata-mata jarak tempuh, tetapi juga beban yang harus dipikul Mbah Pariyem saat tiba waktu pergi ke pasar Piyungan. Menuruni lembah, turun naik perbukitan Hargo Dumilah melewati beberapa Dusun dibawahnya. Untuk hari ini, saya kira tidak banyak (mungkin juga sudah tidak kita jumpai), perempuan Jawa membawa kayu dan barang dagangan lainnya, turun naik bukit dengan beban di punggungnya. Generasi sekarang, saya kira tidaklah sudi, berjalan kaki, turun naik bukit yang terjal itu sambil membawa beban. Bukan karena manja. Tapi, keadaan telah mengubah kebiasaan. Cieeee..
Mbah Pariyem, perempuan Jawa sekitar 70-an tahun usianya, tampak masih terlihat sehat dan jelas tutur katanya. Sebuah kehormatan saya bisa sowan tanpa rencana. Mas Sangsang, teman yang baru saya kenal, dengan rela mengantar saya ke Dusun Pandeyan untuk sekadar melihat dari dekat Belik Widodaren yang terletak tidak jauh dari kediaman Mbah Pariyem. Karena wasilah Mas Sangsanglah sesungguhnya, saya bersama Pak Santosa (Ketua RT 06 Bintaran Wetan), dapat singgah di kediaman Mbah Pariyem.
Sebuah pertemuan, yang justru mendorong saya semakin bersemangat untuk melihat dari dekat Srimulyo, sebagai sebuah Desa dengan jejak sejarahnya yang panjang, tetapi tak terlihat lanskap jejaknya itu di alam kesadaran masyarakatnya secara umum. Sejak beberapa tahun terakhir, saya membiasakan diri keliling kampung, dari Dusun ke Dusun di wilayah Srimulyo sekadar ingin tahu seberapa luas wilayahnya dan ada apa saja di dalamnya. Buat saya, sebagai seorang pendatang yang menetap di salah sebuah Dusun di Srimulyo, banyak hal yang saya peroleh. Secara khusus keheranan saya pada cakupan wilayah kelurahan yang sedemikian luas meliputi 22 pedusunan dan beberapa nama kampung (non Dusun) adalah luar biasa. Sempat terpikir kenapa wilayah ini tak dimekarkan saja untuk keperluan efektifitas pemerintahan. Ah, tentu itu bukan wewenang saya. Biarlah itu menjadi pikiran saya sendiri saja. Hahahaha…
Terpenting dari perjalanan keliling itu, saya merasa menemukan sesuatu yang seyogyanya juga menjadi kegelisahan banyak pihak di wilayah ini. Baik dari sisi kesejarahan dan jejaknya maupun dari aspek tata ruang dan kontur wilayah Desa Srimulya yang sebagian diantaranya (mungkin sebagian besar) berbukit-bukit.
Saya merasa senang, misalnya, bisa berkenalan dengan anak muda seperti Mas Sangsang (Watu Wayang) dan Nanang Nurdiaman (Mas Dukuh Plesedan) di mana belik Hargo Lawu berada. Saya dipertemukan dengan kedua anak muda ini dalam suasana yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya. Mas Agung (Sumur Bandung), memandu saya jika nantinya ke Watu Wayang dan Hargo Lawu, carilah kedua orang temannya itu. Berangkat dari keduanya inilah, saya bertemu dengan Mbah Pariyem Pandeyan; perempuan juru kunci Belik Widodaren. Tentang apa dan bagaimana Belik Widodaren akan disajikan terpisah.
*****
Bersama Mas Sangsang dan Pak RT Santosa, tibalah saya di Dusun Pandeyan. Maksud utama melihat dari dekat keberadaan Belik Widodaren yang letaknya tak jauh dari kediaman Mbah Pariyem. Karena itulah kemudian bersama kedua orang teman tadi, saya singgah di rumah Mbah Pariyem. Barangkali karena kedatangan kami bertiga tidak ada rencana sebelumnya, bagi Mbah Pariyem dipahami sebagai seorang tamu yang hendak ke Belik Widodaren dengan maksud khusus, sebagaimana umumnya beberapa orang datang dan singgah di kediaman Mbah Pariyem dengan tujuan khusus pula.
Jadi, wajarlah kiranya Mbah Pariyem kemudian menuturkan beberapa orang bahkan dari keturunan bangsawan datang ke Belik Widodaren ini, di antaranya dari Trah Paku Alam dan Trah Ki Ageng Giring. Pernah juga ada tamu dari Jakarta yang tinggal di rumah Mbah Pariyem selama beberapa hari sekadar untuk melakukan pengobatan di Belik Widodaren. Ketika kami juga hendak turun melihat dari dekat keberadaan Belik tersebut, tak lupa Mbah Pariyem membekali kami dengan doa agar segala maksud yang disampaikan nantinya didengar oleh Yang Maha Kuasa. Saya sedikit terkejut –dalam hati—saat Mas Sangsang disarankan membawa menyan (dupa) untuk dibakar di area Belik. Mas Sangsang mengafirmasi ke saya. Tentu saja dengan sigap saya bilang; bawa saja. Pasti Mbah Pariyem juga ikhlas memberinya. Sampai di sini, kita kadang tak pernah tahu: kebaikan apa yang akan ditunjukkan kepada kita dalam setiap perjalanan yang akan kita lewati. Seperti pertemuan saya dengan Mbah Pariyem ini.
Barangkali tidak banyak dari masyarakat kita hari ini yang masih peduli pada sesuatu yang kerap dianggap musykil dan penuh kemusyrikan. Mbah Pariyem adalah contoh bagaimana kita diajarkan untuk melihat masa lalu dengan rasa hormat. Belik Widodaren, bukan semata-mata sebuah mitos, yang secara lisan dianggap sebagai tapak tilas para leluhur di masa-masa peralihan dari pengaruh Majapahit dan dunia baru kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Seperti Belik Widodaren ini, misalnya, sebuah mata air yang diceritakan secara lisan masih ada kaitannya dengan keberadaan Sunan Geseng, kebetulan makamnya tidak jauh dari letak keberadaan Belik Widodaren ini.
Mbah Pariyem kemudian mengambil inisiatif mengawali pembenahan Belik Widodaren. Belik ini sebelum gempa bumi 2006 memiliki kandungan air yang banyak, bahkan mencukupi kebutuhan area persawahan sekitarnya. Sejak gempa 2006, keberadaan Belik ini seperti tidak terurus. Ditumbuhi banyak ilalang dan rerumputan. Hampir tiga tahun tidak ada yang peduli pada keberadaan Belik ini. Hingga suatu saat muncul niatan dari Mbah Pariyem untuk membersihkannya, agar air yang keluar dari mata air itu kembali normal. Dengan rasa takut yang disimpannya, Mbah Pariyem bersama suaminya, membenahi kembali Belik Widodaren agar kembali normal menyediakan air bagi kebutuhan sekitar.
Saat tiba di Belik Widodaren, saya bisa membayangkan keindahan lanskap Jogja di malam hari dengan suguhan orkestrasi cahaya lampu-lampu kota. Sebuah keindahan, tapi tak seharusnya di sepanjang jalan di perbukitan ini, sejak dari tanjakan pertama Piyungan sampai jalan masuk makam Sunan Geseng, dipenuhi kesemrawutan tata ruang penjaja gerak pariwisata. Di bibir lereng dan jurang perbukitan, berdiri bangunan-bangunan yang agak riskan. Semoga suatu saat kawasan ini jauh lebih tertata dengan baik dan ramah lingkungan.
Kepada Mas Sangsang saya berbisik;”Mas, kelak jika nanti Sampeyan dan kawan-kawan menggerakan pariwisata, jangan lupa, di sini, di Srimulya, ada begitu banyak jejak yang harus kita jaga,”.
Sampai di sini, saya bisa membayangkan bagaimana Mbah Pariyem bercerita di awal-awal usahanya itu membersihkan Belik, meminta ijin para bidadari agar memaklumi dirinya yang tengah membersihkan kembali Belik agar terlihat lebih nyaman. Sambil berkata dalam hatinya, nanti saat Belik sudah seperti sediakala datanglah lagi ke sini dengan air yang lebih banyak lagi. Besok akan kuberikan padamu aneka kembang setaman, yang dibelikan suamiku dari sebuah pasar agar kalian lebih kerasan.
(Akhmad Fikri AF., Seorang Pejalan Kopi).