Login to your account

Username *
Password *
Remember Me

Create an account

Fields marked with an asterisk (*) are required.
Name *
Username *
Password *
Verify password *
Email *
Verify email *

ꦌꦱ꧀ꦱꦻ | Essay

TALANG KENCANA (Sebuah Monografi)

TALANG KENCANA (Sebuah Monografi)

Talang Kencana: Dari Sendang Hargo Lawu Hingga Belik Widodaren (Bagian Pertama)
Kampung Watu Wayang terletak di Dusun Duwet Gentong, Srimulyo, Piyungan, Bantul. Sepintas kampung yg terletak di Dusun Duwet Gentong ini tak jauh beda dengan kampung2 sekitar yg membentang utara-selatan di jalur lereng bukit Hargo Dumilah. Secara umum, kampung2 di sepanjang lereng bukit Hargo Dumilah tidaklah melimpah seperti kampung atau dusun2 lain di wilayah Srimulyo yg berada di bawahnya. Mungkin saja ini karena kontur tanahnya yg berbatu dan sepintas memang bebatuan yg ada berkarakter bebatuan seperti yg bisa dilihat di wilayah Gunung Kidul.

Bukit Hargo Dumilah sendiri merupakan bukit perbatasan sebelum wilayah Pathuk Gunung Kidul apabila kita berjalan dari arah barat Jl. Jogja-Wonosari. Air untuk kebutuhan sehari-hari warga di Watu Wayang, misalnya, dialirkan dari Sendang Hargo Lawu (Go Lawu) dan beberapa Kampung lain sekitar keberadaan Sendang ini.

Dari sisi nama, Kampung Watu Wayang ini unik. Sepintas bagi yang belum pernah ke Kampung ini mungkin menduga di Kampung ini ada tradisi membuat wayang dari batu. Sehingga karenanya nama Kampung Watu Wayang dilekatkan pada tradisi itu. Jelas bukan itu. Di kampung Watu Wayang ini, menurut cerita Sangsang, ditemukan watu (batu) bergambar wayang (Pandawa Lima). Di lokasi ditemukannya gambar wayang itu masih bisa kita lihat, walaupun sebagian besar di antaranya sudah terlihat terkikis oleh waktu.

Saya sendiri belum mendapatkan cerita yang memberikan jawaban tentang bagaimana gambar-gambar wayang di tempat yang disebut watu wayang itu ditemukan. Siapa penemu pertama? Atau siapa pembuatnya? Dll. Hanya saja berkembang cerita di masyarakat bahwa watu wayang itu sudah begitu lama ada di lokasi sejak ditemukan. Dalam cerita Sangsang, watu wayang itu sudah ada sejak 100an tahun lebih. Pertanyaan saya tentang siapa yang membuat dan bagaimana itu ditemukan, masih misteri. Tapi, konon menurut cerita lisan yang beredar di masyarakat, Watu Wayang itu masih terkait dengan keberadaan Sunan Geseng, yang makamnya tak jauh dari lokasi Kampung Watu Wayang. Tepatnya berada sekitar 3km ke arah selatan. Jika demikian, keberadaannya berarti sudah lebih dari empat abad lamanya. Tentang apa dan bagaimana Watu Wayang ini rasanya perlu dibuat catatan lebih khusus. Apa yang saya singgung ini semata-mata bertujuan membuka kembali ingatan kolektif tentang apa yang kiranya dapat menjadi modal sosial-budaya bagi komunitas masyarakat dalam kerangka menggali kembali kearifan-kearifan lokal yang mereka miliki.

Bentang Kawasan Talang Kencana
Bukit Hargo Dumilah membentang dari utara-selatan sejauh sekitar 3-4 kilometer, yang berbatasan langsung dengan Bukit Pengger di sisi selatan. Titik awal gugusan bukit Hargo Dumilah mulai dapat kita rasakan sejak jalan menanjak setelah lampu merah Piyungan yang terletak di sisi utara.  Dalam bentangan bukit Hargo Dumilah itulah bentang wilayah territorial Kelurahan Srimulyo. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Srimartani (sisi timur) dan Berbah (sisi barat). Di bagian selatan berbatasan langsung dengan Sendangsari, Dlingo (sisi timur) dan Sitimulyo (sisi barat). Perlu saya kemukakan di sini, bahwa gugusan bukit Hargo Dumilah sekadar memudahkan saya untuk memberikan sebuah gambaran tentang keberadaan bukit-bukit lain sepanjang utara-selatan di wilayah Srimulyo tersebut.

Di sepanjang kawasan lereng bukit Hargo Dumilah ini berjejer kampung-kampung dan pedusunan yang masuk ke wilayah Kelurahan Srimulyo. Diantaranya; Plesedan, Duwet Gentong, Jolosutro, Pandeyan, ngijo, Jombor, Watu Wayang. Di sepanjang kawasan perbukitan Hargo Dumilah, diantara jarak antara pedusunan itulah sekurang-kurangnya kita bisa menjumpai Sembilan belik; Sendang Hargo Lawu (Go Lawu), Belik Kenonggo, Belik Jambesari, Belik Sumberrejo Kedung Gereng, Belik Sunan Geseng, Sendang Widodaren dan masing ada sekitar tiga Belik lagi yang belum saya ketahui namanya. Belik-belik sebagaimana disebutkan itu, masing-masing memiliki cerita lisannya sendiri-sendiri dan berkembang di masyarakat secara turun temurun. Untuk hal ini tampaknya memang akan dibuat catatan terpisah. Tulisan ini lebih berfokus pada apa dan bagaimana mitos-mitos yang berkembang seputar belik itu secara umum.

Ada dua cerita lisan (‘historis’) yang menarik seputar keberadaan belik di sepanjang bukit Hargo Dumilah. Versi pertama menyebut belik-belik yang ada tersebut masing memiliki keterkaitan dengan keberadaan Sunan Geseng, di mana makamnya, sebagaimana telah disinggung berada di Dusun Pandeyan. Versi kedua, keberadaan belik-belik tersebut memiliki keterkaitan dengan Brawijaya V (dan atau para pasukan Brawijaya V yang menyebar ke arah Barat sejak runtuhnya kerajaan besar di Jawa itu pada abad 15 M.

Versi lain terkait dengan keberadaan belik-belik tersebut lebih bersifat ‘mistis’. Dalam hal ini, apa yang diceritakan Mbah Suhar (seorang peziarah waktu), Mas Sangsang dan Mas Nanang Nurdiawan (Kepala Dukuh Plesedan) memiliki persamaan. Bahwa keberadaan belik-belik tersebut, sebagaimana berkembang cerita ini secara terbatas, berasal dari sebuah ‘grojogan banyu’ (semacam air terjun) yang begitu besar, di mana sumber airnya berasal dari Gunung Api Purba Nglanggeran mengalir menuju pantai selatan. Grojogan banyu ini boleh dikatakan merupakan bocoran dari “Talang Kencana” yang mengalir deras tersebut.

Tentu karena sifatnya yang mistis, maka tidak semua orang mampu merasakan keberadaan Talang Kencana (Talang Mas) ini. Tentang keberadaan Talang Kencana ini hanya bisa dilihat dengan kacamata mistis oleh karena keberadaanya yang gaib. Mereka yang mampu melihat keberadaan Talang Kencana ini juga memiliki pendengaran yang tajam. Bahwa suara-suara bergemuruh laksana air terus-menerus mendera di gendang telinga mereka, di mana alirannya begitu deras.  Di sepanjang Talang Kencana itulah, kemudian muncul ‘grojogan banyu’, yang jatuh ke bumi dan melahirkan aliran baru berupa munculnya belik-belik yang dapat dimanfaatkan warga untuk kelanjutan hidup mereka.

Talang Kencana: Kearifan Lokal yang Perlu dijaga (Bagian Kedua)
Dalam pandangan saya, “Talang Kencana” merupakan konsepsi mitologis yang diwariskan ceritanya turun temurun untuk suatu alasan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kontur perbukitan Hargo Dumilah yang berbatu tidak memungkinkan menyimpan air. Jenis bebatuan andesit seperti bebatuan vulkanik yang terlihat di Bukit Hargo Dumilah ini, barangkali rentan longsor. Tentu ini sangat berbahaya bagi masyarakat yang bermukim di lereng-lereng perbukitan seperti ini, termasuk di Hargo Dumilah. Sehingga di masa lalu, dalam upaya memelihara ketersediaan air di masa mendatang dilakukan upaya vegetasi dengan menanam pepohonan yang mampu menyimpan air.

Tidaklah mengherankan bila kita lihat di sepanjang bukit Hargo Dumilah banyak dijumpai rumpun bambu, pohon mentaok, pohon beringin dan pohon asem, yang keberadaannya dianggap mampu menjadi talang air. Bahkan, di beberapa belik di kawasan ini dulunya ada pohon beringin dan pohon bambu. Kearifan masa lalu dalam konteks ini adalah ketika muncul mitos agar pepohonan sejenis tersebut di atas, tidak dieksploitasi untuk keperluan rumah tangga, misalnya. Tujuannya supaya pepohonan tersebut dapat berkembang maksimal dan mampu menyimpan kandungan air secara lebih banyak. Kerap kita mendengar mitos penunggu pohon-pohon besar dan rerumpun sebagai tempat gendruwo atau kuntilanak, sehingga memanfaatkan apapun dari pohon itu akan terkena sawan atau kesambet.
Sampai di sini saya kira, mitologi Talang Kencana memberikan kepada kita sebuah contoh bagaimana kearifan lokal itu bekerja dalam kerangka menjaga tatanan kehidupan yang selaras dan harmoni antara alam dan manusia. Wajar kiranya dikembangkan berbagai kegiatan, yang hari ini kita kenal sebagai, misalnya, rasulan dan jenis-jenis persembahan masyarakat pada tempat-tempat yang dianggap angker itu sebagai sebuah tradisi budaya. Ini sama sekali tidak ada kaitan dengan persoalan teologis. Jenis-jenis upacara dan pemberian ancak, misalnya, semata-mata sebagai sebuah tindakan simbolik (orang Jawa) untuk menunjukkan rasa terimakasih dan syukur mereka kepada Yang Maha Kuasa.

Talang Kencana dalam konteks ini menjadi sebuah bentuk kearifan lokal masyarakat dalam memelihara alam dan lingkungan mereka. Namun demikian, modernitas mengubah keadaan. Apa yang dahulu dianggap sebagai angker, hari ini justru menjadi tempat pariwisata dan bernilai ekonomis. Akibatnya, struktur lingkungan berubah dan kearifan lokal masyarakat terlupakan. Kegiatan-kegiatan religi dan budaya masyarakat pada akhirnya kehilangan ruh kearifan lokalnya. Hanya sebatas bahwa kegiatan-kegiatan itu dilakukan semata-mata sebagai kegiatan bersifat pariwisata (tourism) dengan dampak ekonomis ketimbang memahaminya sebagai sebuah kegiatan berpengaruh dan bermakna bagi kelangsungan hidup sosial mereka.

Untuk itulah mitologi Talang Kencana menjadi penting dijaga, dilestarikan. Tentunya dengan mempertimbangkan tantangan-tantangan baru dan kepentingan memperjuangkan peningkatan tarap hidup masyarakat juga. Jika diantara belik-belik yang tersebar di kawasan ini, sebagian diantaranya sudah mengering pasti ada sesuatu yang keliru dari cara kita mengelolanya. Karena sangat mungkin terjadi, misalnya, keringnya ketersediaan air di belik-belik itu akibat pepohonan dulunya dipersiapkan menyimpan air sudah semakin langka, akibat penebangan pohon tanpa mempertimbangkan aspek ekologis dan vegetasi tumbuhan sekitar.
Di sini, revitalisasi mitologi Talang Kencana menjadi tantangan baru bagi masyarakat sekitar lereng bukit Hargo Dumilah. Hal yang barangkali perlu dilakukan sekurang-kurangnya dengan dua cara. Pertama, revitalisasi Kawasan Talang Kencana yang lebih akrab dengan struktur ekologisnya. Kedua, jalan religi dan budaya.

Jalan Ekologis Talang Kencana
Apa yang hendak dikemukakan dengan jalan ekologis mitologi Talang Kencana ini, tidak lain adalah memaknai mitos Talang Kencana sebagai cara pandang kita melihat pergeseran dan perubahan sosial di lingkungan kita sendiri. Karena sangat mungkin terjadi bias pemahaman. Mitos hanya dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya mistis (tidak rasional). Sesuatu yang tidak perlu dimaknai secara lebih jauh.

Mitos hanya dipahami sebagai cerita lisan para leluhur tanpa mencoba memahaminya sebagai kearifan tradisional menangkap gejala-gejala yang terjadi di sekitar kita. Akibat dari cara pandang seperti ini, membuat kita kesulitan membaca tanda-tanda alam atau isyarat kahanan tentang sesuatu akan terjadi di masa datang. Umumnya, mitos2 yg berkembang di masyarakat sejak dulu banyak mengandung nilai ajaran keselarasan alam dan manusia.

Mari kita lihat bagaimana menjamurnya usaha pariwisata di lingkungan kita. Trend pembukaan tempat-tempat wisata di pedesaan Jogjakarta, termasuk di wilayah Srimulyo, misalnya, tidak terlepas dari kebangkitan dunia pariwisata Jogjakarta secara umum. Itulah mengapa kita bisa lihat pertumbuhan tempat-tempat wisata berbasis Desa di Jogjakarta ini tumbuh bak cendawan di musin hujan. Asal ada tempat bagus dan memungkinkan untuk dibuatkan pojok selfie dan ruang-ruang makan dan minum, maka dirancanglah lokasi itu sebagai tempat pariwisata. Akibatnya, warna setiap tempat itu tidaklah jauh berbeda. Fasilitas yang ditawarkan sama. Jenis makanan dan minuman yang ditawarkan juga tidak jauh beda.

Kecenderungan ini pasti sangat membosankan. Trend seperti ini hanya akan dimanfaatkan sekali waktu saja oleh para pengunjung. It’s nothing special. Namun demikian, yg patut diapresiasi dari kecenderungan ini adalah inisiatif warga dalam melihat peluang bagi pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Keberhasilan masyarakat di Dlingo kiranya dapat dilihat sebagai contoh bagaimana kemandirian warga berdampak pada peningkatan PAD kabupaten, khususnya di sektor pariwisata.

Buat saya yang sedikit mengherankan, inisiatif itu ditiru oleh tidak sedikit pemangku kepentingan di Desa. Bergulirnya dana desa sebagai pengejawantahan dari diberlakukannya UU Desa tampaknya ikut menggerakkan situasi ini. Di tengah begitu banyak Desa yang masih kebingungan mengelola dana Desa, ada beberapa contoh di sekitar kita bagaimana dana Desa dikelola secara profesional dgn mengembangkan unit2 pariwisata lokal melalui pemanfaatan BUMDesa. Diantara kecenderungan pemanfaatan dana Desa itu, jika kita lihat situasi yang berkembang di Jogjakarta ini –untuk menyebut diantaranya—adalah inisiatif desa mengembangkan produk-produk pariwisata lokal di tiap Desa yang potensial ke arah itu.

Sampai di sini tidak ada yang salah dengan inisiatif itu. Sepanjang bahwa berdirinya tempat-tempat wisata seperti itu berdampak secara ekonomis bagi warga setempat, menurut saya, sesuatu yang baik-baik saja. Artinya ada kesadaran bagaimana meningkatkan taraf ekonomi warga di lingkungan sendiri tanpa perlu ke luar wilayah. End tokh, contoh seperti ini juga, seperti bisa kita lihat sebagian diantaranya cukup berhasil. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa ini hanyalah soal trend. Sewaktu-waktu bisa berubah dan ketinggalan jaman. Sehingga tantangan pengelolaannya pun memerlukan inovasi terus menerus dan dinamis. Tanpa inovasi akan terkubur oleh perjalanan waktu.

Kecenderungan yang terjadi di kawasan gugusan bukit Hargo Dumilah tampaknya cukup memprihatinkan. Partumbuhan lokasi-lokasi ‘wisata’ dan tongkrongan baru di wilayah itu dikelola secara swasta tanpa memperhatikan dampak ekologis dan konteks geografisnya. Di satu pihak, lokasi-lokasi di sekitar gugusan bukit Hargo Dumilah itu menyajikan keindahan lanskap Jogjakarta secara utuh dan menakjubkan. Namun, di sisi lain penataan tempatnya tidak memikirkan aspek keselamatan secara lebih serius. Belum lagi, misalnya, mempertimbangkan aspek mitologis yang berkembang di wilayah itu. Sesuatu yang tampaknya jauh dari kesadaran untuk melihatnya sebagai modal sosial-budaya.

Bagaimanapun, lokasi-lokasi tersebut sangat berdekatan dengan kampung-kampung yang teletak di lereng gugusan bukit Hargo Dumilah, di mana perkampungan tersebut memiliki jejak sejarah yang panjang. Rasanya sulit membayangkan kegaduhan suara musik hiburan begitu dekat dan mungkin saja mengganggu ketenangan suasana kampung di bawahnya. Tampaknya ini tidak menjadi dasar pertimbangan para pengelola atau karena mereka betul-betul tidak tahu bahwa di kampung-kampung di bawahnya suasanya sangat berbeda.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa tempat-tempat tongkrongan di atas sepanjang bukit Hargo Dumilah itu ditiadakan. Akan tetapi, bagaimana keberadaan tempat-tempat wisata itu ditata secara lebih baik, dengan mempertimbangkan aspek ekologis dan kontur tanahnya. Penataan juga bisa dilakukan dengan membuat master plan yang memadukan semua keberadaan tempat-tempat wisata itu dalam satu kawasan. Saya tidak tahu bagaimana ini dapat dilakukan. Tetapi, para pemangku kebijakan jauh lebih mengerti apa dan bagaimana seharusnya penataan itu dicanangkan.

Sampai di sini, saya kira, jalan ekologis Talang Kencana lebih pada sebuah gagasan, bagaimana mendialogkan ekosistem sekitar dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi di sektor pariwisata berjalan seimbang. Mitos (ekologis) Talang Kencana tidak bisa ditepikan begitu saja. Mitologi ini seyogyanya dapat dilihat sebagai modal sosial masyarakat sekaligus sebagai kebanggaan budaya yg tidak dimiliki daerah lain.
Akhmad Fikri AF. (Seorang Pejalan Kopi)

Jalan Religi dan Budaya
Sembilan belik dengan sembilan cerita asal muasalnya, menyatu di garis Talang Kencana. Hal ini sungguh merupakan modal sosial-budaya cukup besar. Bagaimana modal sosial budaya itu dapat diwujudkan dalam bentuk sebuah gerakan; kembali pada akar budaya masa lalu. Rasanya hal itu penting dilakukan dengan mempertimbangkan situasi kita hari ini. Yakni; ketidaktahuan/ketidaksadaran kita pada masa lalu membuat cara pandang kita pada sesuatu menjadi bias. Kita mudah terpesona pada hal-hal baru dari luar, tetapi merasa asing dengan sesuatu yang lama dan mengendap dalam diri kita tanpa kita sadari.

Keberadaan Sembilan belik di sepanjang bukit Hargo Dumilah, misalnya, barangkali membuat kita terkejut. Padahal keberadaannya sudah ada sejak lama. Kita lebih terpesona pada hal-hal baru yang kita anggap mampu memberi keuntungan material dan melupakan keuntungan non materi. Cara pandang seperti ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi, menyeimbangkan keduanya –rasanya—akan jauh lebih menguntungkan kita secara material dan non material di masa datang.

Secara factual, keberadaan sembilan belik tersebut merupakan rangkaian. Satu kesatuan mitologis. Keterkaitan tokoh-tokoh historis di masa lalu menunjukkan bahwa kesembilan belik tersebut bukan semata-mata hadiah alam begitu saja. Dalam cerita lisan yang berkembang, keberadaan belik-belik tersebut memiliki keterkaitan yang erat dengan sosok Brawijaya V dan Sunan Geseng. Setidaknya dari cerita lisan tersebut kita menjadi tahu bahwa kedua tokoh historis itu memiliki pengaruh kuat di sepanjang perbukitan Hargo Dumilah di masa lalu. Namun demikian, seiring dengan perkembangan waktu tidak semua masyarakat utamanya di lingkungan terdekat memiliki kesadaran historis dan mitologis sekaligus.

Dalam perspektif saya, ada semacam kebutuhan –kalau boleh dikatakan—tuntutan untuk memaknai kembali keberadaan sembilan belik dalam konteks pergeseran dan perubahan sosial hari ini. Sudah barang tentu, pemaknaan kembali itu masih terhubung dengan keberadaan belik tersebut secara fungsional. bila sebagian belik sudah tak memiliki fungsi sebagaimana dahulu, barangkali diperlukan upaya sungguh-sungguh mengembalikan fungsinya seperti sedia kala.

Jalan religi dan budaya dalam konteks ini lebih pada upaya menghidupkan suatu tradisi yang pernah dan belum pernah ada untuk dilakukan. Jika hari ini kita melihat kesembilan belik seperti terpisah barangkali untuk maksud dan tujuan harmonitas di masa medatang, kiranya bisa dimaknai sebagai suatu kesatuan. Sehingga dalam menghelat suatu kegiatan pun, misalnya, bagaimana kesembilan belik itu dipahami sebagai sebuah rangkaian dalam upacara tradisional lengkap dengan segala ritual budayanya.

Dalam konteks itulah, jalan religi dan budaya akan terlihat sebagai sebuah gagasan tentang keutuhan tradisi. Membangun kembali dalam sebuah rangkaian yang utuh dan memaknai kembali keberadaanya sebagai warisan budaya, akan membuka mata kita bahwa di sepanjang gugusan bukit Hargo Dumilah ini menyimpan potensi besar bagi masyarakat sekitarnya.

Dengan demikian, jalan religi dan budaya ini sangat membutuhkan cara pandang yang lebih arif. Sudah barang tentu, peranan para sesepuh dan mereka yang mengerti bagaimana memperlakukan warisan tradisional ini sebagai salah satu jalan membangun masyarakat. Saya selalu membayangkan, pada saatnya di wilayah ini akan terbangun kesadaran bersama memanfaatkan warisan budaya yang ada dengan cara-cara yang juga penuh kearifan dan kebijaksanaan.


Akhmad Fikri AF. (Seorang Pejalan Kopi)

Read 2189 times Last modified on Monday, 23 November 2020 05:24
Rate this item
(0 votes)
Login to post comments


ꦱꦼꦏꦽꦠꦫꦶꦪꦠ꧀ Sekretariat:

ꦏꦩ꧀ꦥꦸꦁꦄꦏ꧀ꦱꦫꦥꦕꦶꦧꦶꦠ

ꦧꦶꦤ꧀ꦠꦫꦤ꧀ꦮꦺꦠꦤ꧀ꦱꦿꦶꦩꦸꦭ꧀ꦚꦥꦶꦪꦸꦁ

ꦔꦤ꧀ꦧꦤ꧀ꦠꦸꦭ꧀ꦪꦺꦴꦒ꧀ꦚꦏꦂꦠ

 

Kampung Aksara Pacibita

Bintaran Wetan 06 Kalurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55792

Gerbang Praja

Jogjakarta Kota Hanacaraka ꧋ꦗꦺꦴꦒ꧀ꦗꦏꦂꦠꦏꦺꦴꦠꦲꦤꦕꦫꦏ꧉

Jogjakarta Kota Hanacarak...

꧋ꦱꦼꦧꦸꦮꦃꦒꦼꦫꦏ꧀ꦥꦼꦫꦸꦧꦲꦤ꧀ꦝꦶꦪꦩ꧀ꦝꦶꦪꦩ꧀ꦠꦼꦔꦃꦣꦶꦭꦏꦸꦏꦤ꧀꧈ꦊꦣꦏꦤ꧀ꦚ...

Sultan HB X: Aksara Jawa Sangat Penting bagi Masyarakat Jogja

Sultan HB X: Aksara Jawa...

Harianjogja.com, JOGJA- Pemda DIY meluncurkan rest...

Pelestarian Budaya Dimulai dari Keluarga

Pelestarian Budaya Dimula...

JOGJA – Upaya pelestarian budaya Jawa terus dilaku...

Gerbang Praja Bumikan Bahasa, Aksara, dan Adab Jawa

Gerbang Praja Bumikan Bah...

IBTimes.ID-Yogyakarta-Gerbang Praja singkatan dari...

Video Terbaru ꦮ꦳ꦶꦣꦶꦪꦺꦴꦠꦼꦂꦧꦫꦸ

Data Kunjungan ꦣꦠꦏꦸꦚ꧀ꦗꦸꦔꦤ꧀

305840
ꦲꦫꦶꦆꦤꦶ Hari ini ꦲꦫꦶꦆꦤꦶ Hari ini 298
ꦏꦼꦩꦫꦶꦤ꧀ Kemarinꦏꦼꦩꦫꦶꦤ꧀ Kemarin278
ꦩꦶꦁꦒꦸꦆꦤꦶ Minggu iniꦩꦶꦁꦒꦸꦆꦤꦶ Minggu ini1740
ꦧꦸꦭꦤ꧀ꦆꦤꦶ  Bulan iniꦧꦸꦭꦤ꧀ꦆꦤꦶ Bulan ini5449
ꦏꦼꦱꦼꦭꦸꦫꦸꦲꦤ꧀  Keseluruhanꦏꦼꦱꦼꦭꦸꦫꦸꦲꦤ꧀ Keseluruhan305840