Dalam sebuah sambutan di Kongres Aksara Jawa belum lama ini, Ketua PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia), Prof. Yudho Giri Sucahyo, Ph.D menyatakan bahwa aksara-aksara yang tidak eksis di dunia digital dianggap tidak ada, alias punah. Pernyataan ini mendorong penulis mengajukan pertanyaan lebih lanjut tentang bagaimana nasib aksara-aksara nusantara kita?
Adakah keterkaitan erat antara kepercayaan diri nasional dengan eksistensi aksara-aksara kita? Penulis mencoba mengudar pemikiran bahwa rasa percaya diri nasional kita sangat berkaitan erat dengan eksistensi aksara-aksara nusantara kita di dunia digital hari ini. Dan, diantara sebab hilangnya rasa percaya diri nasional karena kita kehilangan eksistensi aksara-aksara nusantara kita.
Politik Etis Belanda dan Hilangnya Rasa Percaya Diri Nasional
Penulis meyakini diantara sebab hilangnya rasa percaya diri nasional itu adalah saat kita sudah tak lagi terbiasa menulis dengan aksara sendiri. Sebagai negara terbesar diantara negara-negara di Asia Tenggara, aksara kita tidak memiliki karakter nasional kuat. Thailand dan Burma, misalnya, jauh lebih baik dalam hal bagaimana mereka mampu menjaga kepercayaan diri itu dengan menetapkan aksara nasional mereka yang diambil dari eksistensi aksara local mereka sendiri.
Sementara kita saat ini jauh lebih pandai menulis dengan huruf latin daripada menulis dengan aksara-aksara nusantara yang telah ada lebih dahulu. Saya ingin mengatakan aksara resmi kita hari ini adalah produk (pemaksaan) politik yang menyebabkan hilangnya rasa percaya diri jika berhadapan dengan aksara-aksara resmi yang digunakan negara lain.
Akar utama dari hilangnya rasa percaya diri kita antara lain akibat kebijakan politik etis (1901) Belanda di masa lalu dan rangkaian pengaruhnya sampai hari ini. Bagaimanapun kita masih menjadikan politik etis sebagai parameter pemberantasan buta aksara hari ini. seperti kita saksikan, ukuran kesuksesan program pemberantasan buta huruf selalu ujung-ujungya adalah melek huruf latin. Mereka yang pintar menulis aksara-aksara nusantara dan berkarya dengan aksara yang mereka kuasai itu tetaplah dianggap sebagai “si buta huruf” dan harus menjadi obyek pemberantasan.
Setelah 120 tahun perjalanan politik etis itu, kita menyadari sebuah kenyataan tentang nalar kita yang bergeser. Jika kebanyakan aksara-aksara nusantara, aksara Jawa misalnya, lebih menitik beratkan pembentukan karakter lembut, tidak emosional, belajar mendengarkan sebelum menuliskan dan selalu mengedepankan konteks saat membaca naskah (serat), dalam huruf latin kita dipaksa mengubah karakter tersebut dengan kecepatan, pemotongan kalimat sesuai selera. Akibatnya, kita menjadi cenderung simplistic dan suka memotong arah pembicaraan sebelum menjadi pendengar yang baik. Wajah budaya kita berubah. Nalar kita bergeser.
Maka tidak heran apabila generasi muda Jawa hari ini sangat gagap dengan aksaranya sendiri. Dibutuhkan pemahaman terlebih dahulu guna membangun kesadaran baru bahwa belajar aksara sendiri adalah upaya menumbuhkembangkan rasa percaya diri. Aksara kita sesungguhnya bisa bersanding dengan aksara-aksara lain di dunia yang telah lebih dahulu terdigitalkan.
Aksara nusantara dan rasa percaya diri kita
Menggiatkan kembali menulis dengan aksara-aksara nusantara kita akan melahirkan rasa percaya diri baru. Sekurang-kurangnya kesadaran tentang identitas kita akan semakin subur dan menggelora. Cara kita mengekspresikan diri dengan aksara-aksara nusantara yang bisa kita kuasai akan melahirkan kebanggaan. Setidaknya kita bisa mengatakan bahwa aksara kita masih hidup dan diakrabi para penggunanya.
Di dunia digital hari ini tersedia sedemikian luas medium untuk mengekspresikan diri. Kita harus masuk dalam dunia digital itu untuk membangun lagi rasa percaya diri yang hampir punah. Pemerintah pusat tidak bisa hanya mendelegasikan pemeliharaan aksara-aksara nusantara kepada daerah. Menghidupkan aksara-aksara daerah semestinya menjadi kebijakan nasional dan dipayungi undang-undang. Dengan demikian, pembelajaran atas aksara-aksara nusantara berlaku nasional. Aksara-aksara nusantara dapat secara resmi menjadi medium administrasi dan berdiri sejajar dengan huruf latin sebagai aksara nasional.
Hanya saja, sampai hari ini hampir semua aksara-aksara nusantara belum tampak menggeliat di dunia digital. Dibutuhkan kesungguhan untuk memulainya. Bagaimanapun, aksara-aksara nusantara kita semestinya didorong masuk ke dunia digital. Sebab –hari ini—di dunia inilah kita sedang mempertaruhkan eksistensi kita sebagai bangsa. Tujuannya saya kira antara lain; agar kita tidak hanya mahir dalam menulis dengan aksara pinjaman (baca: huruf latin). Namun, sekaligus aksara-aksara nusantara hadir secara eksistensial dan digunakan oleh begitu banyak warga bangsa ini.
Saya dapat membayangkan apabila hal ini dapat terwujud, rasanya kebanggaan dan rasa percaya diri nasional kita akan bangkit dan pulih. Bagaimanapun, menggunakan aksara-aksara nusantara yang ada akan membuat bangsa ini akan lebih berkarakter. Dunia digital memberi ruang untuk menghidupkan kembali aksara-aksara nusantara yang hampir punah. Maka, menyegerakan penggunaan aksara-aksara nusantara di dunia digital dapat kita artikan sebagai jihad membangun kepercayaan diri nasional. Wallahu‘alam. (Akhmad Fikri AF., Penulis adalah pegiat dan inisiator KAMPUNG AKSARA PACIBITA, Jogjakarta).